Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa
yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Itulah yang sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang
gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya),
namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari
beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan
tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin
bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin
menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik.
Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun
hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang
demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Hud 11 : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”
yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan
amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia
yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah
berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus
dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka tidak
akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak
akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka
cari seutuhnya (sempurna).
Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan
sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar
dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan
Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan.
Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang
yang hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di
dunia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat,
mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak
menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh
oleh orang yang mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke
arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka
itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal
tidak ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat,
sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul
Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa
sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan
untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan
lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.”
Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan,
“Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.”
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia?
Jika seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan
diberi. Jika shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya
ingin meraih dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan
dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan
sangat merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan
amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin
mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang
berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
(QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir –rahimahullah- menafsirkan ayat di atas,
“Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”
Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari).
Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan
khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik
merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena
mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai
harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah
sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun
orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka
itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi
atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika
tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali
binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik
sebagaimana dalam firman Allah,
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan
dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika
kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan
marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan
shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda
orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur.
Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang
mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian
mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali.
Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia
sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu
mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk
senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap
pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk
disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan
sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh
mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin
Khottob,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun
tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang
mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu
mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda.
Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi,
dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia.
Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung
menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah
sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar,
hamba dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
Pertama, Jika niatnya adalah murni
untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya
keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat
Maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian
nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah
muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia
pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
Kedua, Jika niat seseorang adalah
untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah
niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati
Maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya
dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
Ketiga, Adapun jika seseorang
telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata,
akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia
ambil untuk membantunya dalam beramal
Semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang,
para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah
dari negara setiap bulannya, maka tidak mengapa mengambil upah
tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya,
karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia
sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan
upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan
menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid,
132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
Pertama, Amalan yang tidak
disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan
tersebut untuk mengharapkan balasan dunia.
Maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam
hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang
akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak
ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat
Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
Kedua, Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua.
Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan
umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin
mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat,
maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun,
jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia
sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa
dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena
syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi – rahimahullah – membawakan pembahasan ini
dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah
untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah
membahas riya’. Kenapa demikian?
Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah
amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan
orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah
Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi
(syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal
agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya.
Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan
seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan
untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang
lancar dan lainnya.
Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang
untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya,
kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak
mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh
kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan
yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya
sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan
ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi
yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap
wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan
menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang
mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam
beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang
Allah takdirkan saja. Ingatlah ini … !!
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah
akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan
keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk
hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia,
maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai
beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah
ditetapkan baginya.”
(HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah – saudaraku -, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita
beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah.
Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia
semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga
akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang
lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
1. Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah
wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar
Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman
bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,
Beirut.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com)
Judul Asli: Banyak Shalat, Puasa dan Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki
Sumber: