Allah
Subhanahu wa ta'ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk kedalam selain rumah kalian, hingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya “ (An-Nur : 27).
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
"Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik“ (An-Nur 61).
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
“Dan apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung segala sesuatu “ (An-Nisaa’ :26).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk kedalam selain rumah kalian, hingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya “ (An-Nur : 27).
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
"Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik“ (An-Nur 61).
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
“Dan apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung segala sesuatu “ (An-Nisaa’ :26).
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Allah telah menciptakan Adam dengan
tinggi 60 hasta, kemudian berfirman :”Pergilah kamu, berikan salam kepada para
malaikat dan dengarkan jawaban mereka atas salam engkau. Salammu dan salam
seluruh anak keturunanmu. Maka Adam berkata :”Asalamu’alaikum!” Para malaikat
menjawab :”Assalamu’alaika wa rahmatullah!”. Para Malaikat menambahkan kalimat
rahmatullah… al-hadits.[1]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ”Kalian tidak akan masuk kedalam Surga hingga
kalian beriman, dan tidaklah kalian dikatakan beriman hingga kalian saling
mencintai. Ketahuilah, aku akan memberitahukan kepada kalian sesuatu yang
apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai. Yaitu
tebarkanlah salam diantara kalian.”[2]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Hak muslim atas muslim lainnya ada
enam.” Ditanyakan kepada beliau :”Apa itu ya Rasulullah ?” Beliau menjawab
:”Apabila kalian bertemu dengan muslim yang lain, maka ucapkan salam kepadanya
…” al-hadits. [3]
Di antara
adab-adab mengucapkan salam :
1.
Diantara perkara yang disunnahkan adalah membiasakan diri untuk saling memberi
dan menyampaikan salam serta kewajiban untuk menjawabnya.
Dalil yang
menunjukkan hal ini sangat banyak, sebagaiman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diatas. Demikian pula berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhuma, dan dalil itu yang telah
populer sudah mencukupi dari nash-nash lainnya. Adapun menjawab salam, maka
hukumnya adalah wajib. Seorang muslim diharuskan untuk menjawab salam jika
tidak maka dia akan berdosa. Dalil-dalil yang menunjukkan tentang wajibnya
menjawab salam sangat banyak. Diantaranya firman Allah :
“Dan
apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau
balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung
segala sesuatu “ (An-Nisaa’ :26
)
Ibnu Hazm dan
Ibnu Abdil Barr serta Asy-Syaikh Taqiyudin telah mengutip ijma’ wajibnya
menjawab salam.[4]
Pertanyaan : Apabila seseorang memberikan kepada jama’ah, apakah
setiap orang dari jama’ah tersebut diwajibkan untuk menjawab salamnya atau
cukup salah seorang dari mereka saja ?
Jawab : Apabila seseorang mengucapkan salam kepada jama’ah,
maka apabila setiap orang dari jama’ah itu menjawab, itulah yang lebih utama.
Akan tetapi jika satu orang saja dari mereka yang menjawab salam sedangkan yang
lainnya diam, maka yang lainnya sudah tidak dituntut lagi.[5] Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata : ”Salam seseorang dari jama’ah sudah
mewakili jama’ah jikalau mereka melewati lainnya dan salam salah seorang
diantara semua yang duduk sudah mewakili ”[6]
2.
Sifat salam.
a. Paling utama : Assalamua’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
b. Kemudian berikutnya : Assalamua’alaikum wa rahmatullah.
c. Dan yang selanjutnya : Assalamua’alaikum.
Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya seseorang
melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang duduk
dalam majelis, maka laki-laki itu berkata : ”Assalamu ’alaikum!” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Dia telah mendapatkan
sepuluh kebaikan.” Kemudian seorang laki-laki lain berlalu sambil berkata :
”Assalamu ‘alaikum warahmatullah” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : ”Dia telah mendapatkan dua puluh kebaikan.” Kemudian berlalu
laki-laki yang lain dan berkata : ”Assalamua ’alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Dia telah
mendapatkan tiga puluh kebaikan”[7]
Adapun sifat
dari menjawab salam sama seperti ucapan orang yang memberikan salam atau dengan
yang lebih baik berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
“Dan
apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau
balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala
sesuatu“ (An-Nisaa’: 26).
Dan hendaklah
menjawab salam dengan bentuk yang plural atau yang lebih sempurna walaupun
hanya kepada satu orang saja, dengan ucapan “Wa’alaikum salam wa rahmatullahi
wabarakatuh “.
Pertanyaan : Apabila seorang yang memberikan salam telah
mengucapkan salam dengan sempurna yakni sampai pada kalimat wabarakatuh, apakah
disyariatkan untuk memberikan tambahan setelahnya ketika menjawab salam untuk
memenuhi zhahir ayat “Biahsani minha” – yang lebih baik dari salam
tersebut - seperti dengan menambahkan kalimat “wamagfiratuhu wa ihsaanuhu“
serta lain sebaginya?
Jawab : Setelah kalimat wabarakatuh tidak ditambahkan
sesuatupun ketika menjawab salam walaupun orang yang memberikan salam mengucapkannya
sampai kalimat wabarakatuh. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
berkata, “Hentikan ucapan salam itu pada kalimat al-barakah, sebagaimana
penjelasan Allah ta’ala tentang hamba-Nya yang shaleh. Allah berfirman:
“Rahmat Allah dan barakah-Nya kepada kalian wahai penghuni rumah.“ (Hud :
73).
Keduanya tidak
menyukai seseorang yang menambahkan ucapan salam setelah kalimat wabarakatuh.[8]
3.
Makruh hukumnya mengucapkan salam hanya dengan kalimat ‘Alaikas salam”
Beberapa
hadits-hadist shahih yang menjelaskan tentang perkara ini. Diantaranya hadits
yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al-Hujaimiy radhiallahu ‘anhu.
Bahwasannya ia berkata: “Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengucapkan ‘Alaika as-salam”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam, akan tetapi katakanlah
As-salaamu ‘Alaika”.[9] Dan Abu Daud
meriwayatkan dengan lafazh, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata, ‘Alaika As-Salam Wahai Rasulullah: “ Beliau bersabda:
“Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam, karena sesungguhnya ‘Alaika
As-Salam itu untuk orang yang telah mati”.[10]
Hadist-hadits
diatas menunjukan kepada makruhnya mengucapkan salam dengan kalimat ‘Alaika
As-Salam”. Dan sebagian ulama merinci pembagian dalam penjelasan ini dan kami
telah merasa cukup dengan keterangan hadits yang sudah terang dan jelas.
4.
Disunahkan mengulangi salam sampai tiga kali apabila salam itu disampaikan
kepada jama’ah yang banyak, atau ketika ragu apakah mereka mendengar salamnya.
Diriwayatkan
dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbicara, maka beliau mengulangnya sampai tiga kali, dan jika beliau
mendatangi sekelompok kaum, maka beliau mengucapkan salam sampai tiga kali”.[11]
An-Nawawi
berkata: - (setelah hadits ini) - “Perkara ini berlaku ketika jama’ahnya sangat
banyak”.[12]
Dan Ibnu Hajar menambahkan: “Yaitu apabila disangka bahwa salam itu belum
didengar, maka boleh untuk mengulangi salam dua atau tiga kali dan tidak
diperbolehkan lebih dari tiga kali”[13].
5.
Disunnahkan untuk mengeraskan suara ketika memberi salam, begitu pula
sebaliknya.
Dan sungguh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk tentang
mengucapkan salam dengan suara yang keras, begitu juga bagi orang yang
menjawabnya. Bagi yang mengucapkan salam dengan suara pelan tidak akan
mendapatkan pahala, kecuali pada keadaan yang dikecualikan sebagaimana akan
disebutkan nantinya. Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Al-Adab karya
beliau, atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu. Dari jalan Tsabit bin Ubaid, dia
berkata: “Saya mendataagi sebuah majlis dan didalamnya terdapat Ibnu Umar dan
ia berkata, “Jika kamu mengucapkan salam, maka perdengarkanlah, karena
sesungguhnya salam engkau akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan”.[14]
Ibnul Qayyim
menjelaskan: “Bahwa diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau senantiasa memperdengarkan jawaban salam kepada yang mengucapkan
salam kepada beliau”.[15]
Ibnu Hajar
berkata: “Perintah untuk menyebarkan salam merupakan argumen bahwa salam dengan
suara lirih tidaklah cukup, melainkan disyaratkan untuk dikeraskan, sedikitnya
mesti memperdengarkan awal salam dan jawabannya dan tidak cukup hanya sebatas
isyarat dengan tangan atau selainnya.
An-Nawawi
berkata: “Minimal ucapan salam hingga dikatakan telah menunaikan Sunnah
pengucapan salam adalah dengan mengeraskan suara, sehingga yang diberi salam
mendengarkan ucapan salam tersebut. Apabila dia tidak mendengar salam tadi,
maka tidaklah dikatakan telah mengucapkan salam, dan tidak diwajibkan menjawab
salam baginya. Dan sedikitnya jawaban salam yang wajib adalah dengan
mengeraskan suara hingga terdengar oleh orang yang mengucapkan salam. Apabila
dia tidak mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum terpenuhi. [16]
6.
Diantara sunnah adalah menyamaratakan salam, maksudnya adalah mengucapkan salam
kepada orang yang kita kenal maupun kepada orang yang tidak kita kenal.
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan didalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Abdullah bin
Amr radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Apakah amalan yang paling baik didalam Islam?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Memberi makan, mengucapkan salam
kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal”.[17]
Hadist ini
berisi anjuran untuk menyampaikan dan menyebarkan salam diantara manusia,
karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar diantaranya adanya
untuk menyatukan sesama kaum muslimin dan menentramkan hati bagi yang lainnya.
Sebaliknya jika memberikan salam hanya kepada orang orang yang tertentu saja,
artinya hanya kepada orang–orang yang dikenal. Maka perbuatan seperti ini bukan
perbuatan yang terpuji bahkan memberikan salam hanya kepada orang-orang
tertentu saja merupakan tanda-tanda hari kiamat.
Dalam musnad
Imam Ahmad terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasannya
beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah jika ucapan salam
disampaikan hanya terhadap orang yang dikenalnya saja”. Dan dalam riwayat yang
lain disebutkan: “Seseorang mengucapkan salam kepada seseorang lainnya, dan
tidaklah ia mengucapkan salam itu kecuali hanya kepada orang yang dikenalnya
saja”.[18]
7. Di
sunahkan bagi yang datang mendahului mengucapkan salam.
Ini adalah
perkara yang sangat populer dan tersebar ditengah-tengah manusia, dan sekian
banyak nash syara’ mendukung amalan tersebut. Dimana sunnahnya mengucapkan
salam adalah bagi seseorang yang datang/mengunjungi mendahului dalam memberikan
salam tanpa saling menunggu. Dan telah lalu pembahasan tentang tiga orang yang datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata yang pertama:
“Assalamu ’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, dan yang kedua berkata:
“Assalaamu ’alaikum warahmatullah, kemudian yang ketiga mengatakan: “Assalaamu
’alaikum”.
An-Nawawi berkata:
“Adapun apabila mendatangi beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau yang
duduk sendiri, maka hendaklah yang mendatangi memulai salam kepada terlebih
dahulu kepada setiap orang yang didatanginya baik seorang anak yang masih
kecil atau orang yang sudah dewasa, sedikit maupun banyak[19].
8.
Disunnahkan orang yang berkendara memberikan salam kepada orang yang berjalan
kaki, orang yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak
dan yang kecil kepada yang besar.
Berkaitan
dengan masalah itu, ada beberapa hadits yang shahih sebagai dalil diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersdabda: “Hendaklah orang yang
berkendara memberi salam kepada yang berjalan dan yang berjalan kepada yang
duduk dan yang kecil kepada yang besar”.[20]
Pada riwayat Al-Bukhari: “Hendaklah memberi salam yang kecil kepada yang
besar dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak”.[21]
Sebagian ulama
telah menjelaskan tentang hikmah mereka didahulukan untuk mengucapkan, ulama
tersebut mengatakan, “Salamnya anak kecil kepada orang dewasa merupakan hak
orang dewasa untuk dihormati dan dimuliakan dan ini merupakan adab yang
sepantasnya untuk dijalankan. Demikian pula salamnya orang yang berada diatas
kendaraan kepada orang yang berjalan akan mengantarkan sikap tawadhu’ pada diri
seseorang yang berada diatas kendaraan dan menjauhkannya dari kesombongan. Dan
salamnya orang yang berjalan kepada orang yang sedang duduk hukumnya
disamakan dengan tuan rumah. Serta salamnya orang yang sedikit kepada
orang yang banyak adalah merupakan hak bagi mereka karena mereka memiliki hak
yang besar”[22].
Masalah : Apakah seseorang yang menyalahi hukum tersebut mendapatkan
akibat dari perbuatannya, semisal jika yang besar mengucapkan salam kepada anak
kecil, yang duduk kepada yang berjalan, yang berjalan kepada yang berkendara,
dan yang banyak kepada yang sedikit?
Jawab : Tidak ada dosa bagi orang yang menyalahi tuntunan
Sunnah tersebut akan tetapi dia telah meninggalkan yang utama. Al-Maaziri
berkata: “Tidak mengharuskan seseorang yang meninggalkan perkara yang Sunnah
terjerumus pada suatu yang makruh, melainkan hanya sebatas meninggalkan perkara
yang lebih utama. Maka apabila seseorang yang dianjurkan untuk memulai salam,
namun yang lainnya mendahului, maka orang yang dianjurkan memulai salam
tersebut telah meninggalkan amalan yang Sunnah sementara orang lain yang
melakukannya telah melakukan amalan yang sunnah. Kecuali apabila ia
mendahuluinya maka diapun meninggalkan perkara yang disunahkan juga”[23].
Masalah lainnya : Apabila bertemu orang yang sama-sama berjalan atau
yang sama-sama berkendara, siapakah yang lebih dahulu untuk memberikan salam?
Jawab : Jika demikian keadaanya, maka hendaklah yang lebih
muda memberikan salam kepada yang lebih dewasa berdasarkan hadits yang telah
lalu. Seandainya umur mereka sama, dan juga dari sisi manapun mereka sama, maka
yang lebih baik diantara mereka berdua adalah yang paling pertama memulai
salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yang lebih baik
dari keduanya adalah yang pertama memberikan salam”.[24]
Diriwayatkan dari hadist dua orang yang saling memboikot satu dengan lainnya.
Dan berdasarkan
hadits Jabir, beliau berkata: “Jika bergabung (bertemu) dua orang yang sedang
berjalan, maka yang pertama memulai salam adalah yang paling uatama”.[25]
Masalah ketiga : Apabila bertemu dua orang yang sedang berjalan
kemudian ada yang menghalanginya seperti pohon atau pagar dan yang lainnya,
apakah disyariatkan bagi mereka untuk mengucapkan salam jika bertemu lagi?
Jawab : Ya, disyariatkan bagi mereka untuk saling mengucapkan
salam walaupun mereka bertemu berulang kali, setelah tidak ada yang
menghalangi. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwasannya dia berkata: “Apabila seorang dari kalian bertemu saudaranya maka
ucapkanlah salam kepadanya, apabila ada penghalang diantara mereka seperti,
pohon atau pagar atau batu, kemudian mereka bertemu lagi maka hendaklah mereka
saling memberikan salam.”[26]
9.
Mengucapkan salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama
melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian
membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah. Sebagian ulama memberikan
penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita asing tersebut
adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan, akan
tetapi jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada ayahku:
“Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun
jika ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi
maka janganlah kamu berbicara dengannya”.[27]
Ibnul Qayyim
memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita
yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang
terpilih. Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi
jalan-jalan yang akan mengarahkan kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan
terjadinya fitnah”.[28]
Sedangkan yang diriwayatkan dari sahabat semuanya terindikasi aman dari
fitnah.
Misalnya pada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia
berkata, “ … adalah seorang wanita yang mengirimkan barang dagangannya –
korma di Madinah -, maka dia membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah
bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari gandum. Apabila kami telah selesai
mengerjakan shalat jum’at maka kami berpaling pulang dan mengucapkan salam
kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang
dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang
dan makan siang kecuali shalat Jum’at”.[29]
10.
Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak kecil.
Hal ini dalam
rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar’I, dan
yang melakukannya telah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah mengabarkan kepada kami, beliau
mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kami melewati anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau mengucapkan
salam kepada mereka”.[30]
Ucapan salam
kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu’ dan
kelembutan dalam menghadapi anak-anak.
Masalah : Apabila seorang yang telah baligh (dewasa)
mengucapkan salam kepada anak kecil atau sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk
menjawab salam?
Jawab : Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan salam
kepada anak-anak, maka bukan suatu kewajiban bagi anak-anak untuk menjawab
salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang yang terkena kewajiban. Berbeda
jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang baligh, maka wajib
bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih kecil
dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[31]
11.
Memberikan salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang
sedang tidur.
Hendaknya
orang yang memberikan salam untuk merendahkan suaranya sebatas untuk
didengar oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan orang yang sedang
tidur. Hal ini berdasarkan hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu ‘anhu dan
pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah kami memerah susu dan setiap
orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami memberikan bagian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau –Miqdad– berkata: “Lalu beliau
datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang sedang tidur
dan hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”[32]
Pada hadits ini
terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan keadaan
orang yang sedang tidur agar tidak terganggu tidurnya dan pada saat yang
bersamaan beliau juga tidak melewatkan keutamaan salam !.
12.
Dilarang mengucapakan salam kepada ahli Kitab.
Kita telah
dilarang melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah untuk
memulai mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah
kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian
bertemu dengan salah seorang diantara mereka dijalanan maka desaklah dia
kebagian jalan yang lebih sempit”.[33]
Setelah larangan yang jelas ini tidak seorangpun diperkenankan memberi
komentar.
Masalah : Apabila kita membutuhkan mereka apakah diperbolehkan
memberikan salam kepada Ahli Kitab ?
Jawab : Hadis diatas telah jelas menunjukkan larangan mengucapkan
salam kepada mereka, akan tetapi jika hal itu sangat dibutuhkan maka hendaklah
menyapa mereka selain dengan ucapan salam, mungkin dengan mengucapkan selamat
pagi, selamat sore dan lainnya.
Ibnu Muflih
mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Apabila dia menyapanya dengan
selain ucapan salam yang membuat mereka senang, maka ini tidaklah mengapa.[34]
An-Nawawi
berkata, “Abu Said –Yakni Al-Mutawalli– berkata: “Apabila seseorang
berkeinginan untuk mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh
melakukannya selain ucapan salam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : -Hadaakallah–
semoga Allah memberimu petunjuk –atau An’amallahu shabaahaka- semoga
Allah memberikan kenikmatan kepadamu dipagi hari ini -. Saya berkata (
An-Nawawi ): “ Pendapat yang diutarakan oleh Abu Said tidak mengapa baginya
jika diperlukan, dengan mengatakan: -shubihta bil-khair- semoga pagi
anda baik, atau – as-sa’adah - pagi yang tenang atau – al-‘afiyah
- dengan kesehatan atau – as-surur- semoga Allah menggembirakan kamu
pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan kesenangan dan nikmat
padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang lainnya yang semisal dengan
ini.
Adapun jika
tidak diperlukan, pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu
kepadanya. Karena hal itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap
persahabatan, sedangkan kita diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas
kepada mereka dan melarang kita untuk bergaul dan menampakkannya. Wallahu
a’lam.[35]
13.
Menjawab salam kepada ahli Kitab dengan mengucapkan Wa’alaikum
Diterangkan
pada hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam
kepadamu maka jawablah dengan mengatakan wa’alaikum”.[36]
Hadits ini
memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang
disampaikan oleh Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa’alaikum”.
Masalah : Apabila kita mendengar ahlil kitab mengucapkan salam
kepada kita dengan mengatakan “Assalamu ’alaikum, dengan lafazh yang jelas
apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa ’alaikum, untuk mengamalkan
hadits ini atau dengan mengatakan Wa ’alaikum salam?
Jawab : Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah
memastikan lafazh salam tersebut dan tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi
kita untuk memjawab salam tersebut. Mereka berpendapat: Inilah makna sebenarnya
dari keadilan, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan
melakukan perbuatan terpuji.[37]
Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan ini pendapat yang
terpilih, bahwasannya, hendaklah kita menjawab salam ahlu Kitab dengan
mengamalkan hadits shahih dan yang jelas dengan jawaban: wa’alaikum.[38]
14.
Bolehnya memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin
dan kaum kafir.
Pembolehan ini
dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari
dan Muslim dan selainnya meriwayatkan: “bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam suatu saat menungangi seekor keledai dengan pelana yang terbuat
dari beludru. Dan beliau membonceng dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu
beliau hendak menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di Bani al-Haarits bin Al-Khazraj –dan
kejadian tersebut sebelum perang Badar-. Hingga beliau melintasi sebuah majlis
yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin para penyembah berhala
dan juga kaum Yahudi. Dan diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul.
Dan pada majlis tersebut juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis
tersebut terkena semburan debu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan
pakaian jubahnya, kemudian dia berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami
berdebu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun kehadapan
mereka dan mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan
membacakan Al-Qur`an kepada mereka ... al-hadits “[39]
Memulai salam
kepada sekumpulan kaum yang terdapat didalamnya kaum muslimin dan kaum kafir,
disepakati pembolehannya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi[40].
Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam
kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu berkaitan apabila yang diberi salam
adalah kafir dzimmi atau kepada sekumpulan Ahli Kitab. Adapun disini, majlis
tersebut terdapat kaum muslimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam
kepada suatu majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin
dengan niat salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.
Ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah : Kami bermualah dengan kaum Yahudi
dan Nashrani dan kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka
terdapat kaum muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada mereka ? Beliau
menjawab: Boleh, dan anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin[41].
An-nawawi mengatakan: “Apabila seseorang melewati sekumpulan orang yang berbaur
antara kaum muslimin datau seorang muslim dan kafir , maka sunnahnya adalah
mengucapkan salam kepada mereka dan meniatkan salam tersebut kepada kaum
muslimin atau muslim tersebut.”[42]
Masalah : Apakah ketika memberi salam kepada sekelompok orang
yang bercampur padanya muslim dan kafir dengan mengucapkan: ‘Assalamu’ala
man ittaba’al huda” - keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk -?
Jawab : “Tidak boleh mengatakan demikian kepada sekumpulan
orang yang didalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir, akan tertapi ucapkanlah
salam kepada mereka dengan meniatkan salam tersebut untuk kaum muslimin
sebagaimana penjelasan di atas. Semakna dengan penjelasan ini,
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Utsaimin : ”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani
berkumpul, hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ’alaikum” dengan maksud untuk
kaum musliminnya[43]
15.
Boleh memberikan salam dengan isyarat karena udzur.
Pada asalnya
memberikan salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk
kebiasaan dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk
menyelisihi mereka dan tidak bertasyabuh – menyerupai- dengan mereka.
At-Tirmidzi
telah mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya
dengan isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi
menghukumi hadits ini sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu
Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan
tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir
secara marfu’ : “Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi,
dikarenakan salam mereka dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan
isyarat”.[44]
Namun hadits
ini terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti
Yaziid, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambaikan
tangannya kepada wanita sambil menyampaikan salam”.[45]
Akan tetapi
hadits ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam.
An-Nawawi mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “Hadits ini
kemungkinannya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan
antara lafazh salam dengan isyarat beliau dengan tangan. Dan yang menguatkan
hal ini, riwayat Abu Ad-Darda` pada hadits ini, dan beliau mengatakan pada
riwayatnya: “Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam
kepada kami “[46]
[47]
Al-Hafidz
mengatakan : “Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus
bagi yang mampu untuk melafazhkan salam secara indera dan syara’. Jika tidak
maka mengucapkan salam dengan isyarat disyariatkan bagi seseorang yang
sibuk dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari pengucapan lafazh
jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah
seseorang yang bisu demikian pula bagi seseorang yang tuli “[48]
16.
Bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat dan bolehnya
menjawab –bagi yang shalat– dengan isyarat.
Suatu yang diperbolehkan diantaranya mengucapkan salam kepada seseorang yang
sedang shalat. Hal ini shahih dari pembenaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagi para sahabat beliau. Dimana mereka –para sahabat– mengucapkan salam
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau sedang
mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengingkari hal itu. Pembenaran beliau ini
menunjukkan bolehnya amalan tersebut.
Diantaranya
pada hadits Habi radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah sekali waktu
menyuruhku untuk suatu keperluan, lalu ketika saya kembali, saya menjumpai
beliau tengah beribadah – Qutaibah– yaitu Ibnu Sa’id, pent –mengatakan: Sedang
shalat -, lalu saya mengucapkan salam kepada beliau. Dan beliau memberi
isyaratkan kepadaku. Setelah beliau menyelesaikan shalatnya beliau memanggilku
dna mengatakan: “Sesungguhnya engkau memberi salam kepadaku namun saya tengah
dalam keadaan shalat “. Dan beliau waktu itu menghadap kearah timur[49].
Hadits lainnya:
Hadits Shuhaib, beliau mengatakan: “Saya melewati Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, disaat beliau sedang mengerjakan shalat, maka saya
mengucapkan salam kepada beliau, dan beliau membalas salamku dengan isyarat.
Beliau berkata: Saya tidak mengetahui kecuali beliau mengisyaratkan hanya
dengan jari beliau[50].
Hadits-hadits
ini dan juga hadits lainnya menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada
seseorang yang tengah mengerjakan shalat, dan dia membalasnya hanya dengan
isyarat.
Pertanyaan : Bagaimana sifat/cara menjawab salam ketika dalam
shalat?
Jawab : Tidak ada pembatasan cara dan sifat ketika kita
menjawab salam dengan isyarat ketika dalam shalat. Apabila kita kembalikan
kepada perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka caranya
bermacam-macam, terkadang beliau berisyarat dengan jari berdasarkan hadits dari
Suhaib yang telah lalu.
Terkadang juga
beliau berisyarat dengan tangannya sebagaimana hadist Jabir.[51]
Terkadang juga
beliau berisyarat dengan telapak tangan sebagaimana hadist dari Abdullah bin
Umar, dimana beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
untuk pergi ke Masjid Quba’ kemudian beliau shalat didalamnya, lalu datanglah
beberapa orang dari kalangan Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu
aku berkata kepada Bilal, “Bagaimana cara Rasulullah menjawab salam mereka
sedangkan beliau sedang shalat? Bilal menjawab: “Beliau mengatakan begini, dan
beliau meluruskan telapak tangannya. Kemudian Ja’far bin Aun meluruskan telapak
tangannya dan menjadikan telapak tangan berada dibawah dan punggung tangan
berada diatas”.[52]
Didalam ‘Aun
Al-Ma’bud disebutkan: “Ketahuilah bahwa menjawab salam dengan isyarat pada
hadits ini adalah dengan cara telapak tangan, sedangkan dari hadits Jabir
dengan tangan, dari pada hadits Ibnu Umar dari Suhaib dengan jari telunjuk. Dan
didalam hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dengan lafazh
bahwa beliau menganggukkan kepalanya, dan dalam riwayat lain dengan menolak
mempergunakan kepalanya. Riwayat-riwayat ini jika diselaraskan, menunjukkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesekali mengamalkan yang ini
dan sekali waktu dengan yang lainnya, sehingga semua amalan itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.[53]
17.
Boleh memberi salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur`an dan wajib untuk
menjawabnya.
Memberi salam
kepada orang yang sedang disibukan dengan membeca Al-Qur`an sebagian ulama
melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya. Yang benar adalah pendapat
yang membolehkannya. Karena tidak ada dalil yang dapat mengeluarkan seseorang
yang sedang membaca Al-Qur`an dari keumuman nash-nash syara’ yang menganjurkan
untuk menyebar salam dan yang menunjukkan wajibnya membalas salam.
Seseorang yang
sedang menyibukkan dirinya dengan dzikir yang paling tinggi nilainya yakni
membaca Al-Qur`an, bukan penghalang baginya untuk tidak diberi salam dan
wajibnya membalas salam tersebut juga tetap wajib waginya
Al-Lajnah
Ad-Daimah menyatakan dalam salah satu fatwa pada sebuah pertanyaan : Bolehnya
seorang yang membaca Al-Qur`an untuk memulai salam dan wajib baginya untuk
menjawab salam. Dikarenakan tidak ada satupun dalil syar’I yang shahih
yang melarang hal itu. Dan hukum asalhnya adalah berpegang dengan keumuman
dalil yang mensyariatkan memulai salam dan wajibnya membalas salam kepada
seseorang yang mengucapkan salam hingga ada dalil yang mengkhususkan hal itu [54]
18.
Makruh mengucapkan salam kepada orang yang sedang berada dalam WC.
Dalil yang
menunjukkan larangan ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seorang melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, lalu orang tersebut mengucapkan
salam kepada beliau dan beliau tidak menjawabnya”.[55]
Berdasarkan
dalil ini ulama telah bersepakat[56]
atas makruhnya menjawab salam bagi orang yang sedang berada dalam wc, baik
sedang kencing atau sedang menunaikan hajat (buang air). Dan disukai bagi orang
yang diberikan salam sementara dia masih berada di wc untuk terus menyelesaikan
hajatnya dan menjawab salam tersebut setelah berwudhu`sebagai bentuk
keteladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Muhajir bin
Qunfudz radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa beliau mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, kemudian dia
mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi
Rasulullah tidak menjawab salamnya sampai beliau berwudhu`, lalu beliau meminta
udzur kepadanya, dan mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak suka untuk berzikir
kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali dalam keadaan suci”. Atau beliau
mengatakan, “kecuali dengan bersuci”.[57]
19.
Disunnahkan mengucapkan salam ketika masuk kedalam rumah.
Apabila rumah
dalam keadaan kosong, sebagian ulama dari generasi sahabat dan selainnya
berpendapat sunnahnya seseorang mengucapkan salam kepada dirinya sendiri
jikalau rumah tersebut dalam keadaan kosong. Diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Apabila seseorang masuk kerumah yang
tidak ditinggali, hendaklah ia mengucapkan: “Assalaamu’alaina wa ‘ala
ibaadillahi shaalihin”.[58]
Diriwayatkan
dalil yang serupa dengan hadits diatas dari Mujahid dan selain keduanya.[59]
Ibnu Hajar
berkata: “Termasuk kedalam keumuman hadits yang mengajurkan untuk menyebarkan
salam adalah mengucapkan salam kepada dirinya sendiri ketika ia masuk kedalam
rumahnya yang tidak ada seorangpun didalamnya. Berdasarkan firman Allah ta’ala
:
“Dan apabila
kalian masuk kedalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian “ (An-Nuur :61) [60]
Begitu juga
jika ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada orang lain didalam rumah kecuali
keluarganya, maka disunnahkan bagi anda untuk mengucapkan salam kepada mereka
juga. Diriwayatkan dari Abi Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Jika
seseorang masuk kedalam rumahnya, hendaklah ia mengucapkan salam kepada
keluarganya untuk mengaharap keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah ta’ala”.[61]
Mengucapkan
salam ketika masuk kerumah ini bukanlah merupakan kewajiban. Ibnu Juraij
berkata, “Aku berkata kepada Atha’, “Apakah wajib mengucapkan salam ketika
masuk atau keluar rumah?” Beliau menjawab, “Tidak, karena tidak satupun atsar
yang menyebutkan tentang wajib ucapan salam tersebut, akan tetapi disukai jika
dilakukan dan hendaklah tidak melupakannya”.[62]
Demikianlah
bahwa tidak ada dalil tentang hal itu, akan tetapi untuk mencari keutamaan,
sepantasnyalah bagi seorang muslim yang telah mengetahui keutamaanya untuk
melakukannya. Dan diantara keutamaannya adalah tercantum pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tiga orang yang seluruhnya dijamin
oleh Allah hidupnnya dan jika mati dijamin oleh Allah masuk surga, yaitu orang
yang jika masuk kedalam rumah dengan mengucapkan salam, maka Allah ta’ala
menjamin orang tersebut. Dan barang siapa yang keluar untuk pergi ke masjid
maka Allah ta'ala menjamin orang tersebut. Dan seseorang yang keluar dijalan
Allah, maka Allah menjamin orang tersebut”.[63]
20.
Menjawab salam kepada orang yang mengirimkan salan kepadanya dan dan kepada
yang dititipi salam.
Perkara ini
telah diterangkan didalam As-Sunnah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Ayahku menitipkan
salam kepada anda“, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “
’Alaika dan ‘ala Abiika as-salam”.[64]
Dan pada hadits
‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Jibril menitipkan salam
kepadamu” Aku berkata, “Wa’alaihis-salam warahmatullah”.[65]
Dan pada hadits
yang lain juga dikatakan bahwa Jibril menitipkan salam kepada Khadijah.
Al-Hafidz berkata: “Sesungguhnya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan salam Allah kepada nya melalui Jibril maka Khadijah berkata : “Innallaha
Huwa As-Salam wa Minhu As-Salam wa ‘Alaika as-salam wa ‘ala Jibril as-salam”.[66]
Walhasil dari
kesemua hadits-hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa menjawab salam kepada
orang yang menitipkannya bukanlah merupakan sebuah kewajiban akan tetapi hanya
sebuah perkara yang disukai.
Ibnu Hajar
berkata: “Saya tidak melihat pada hadits ‘Aisyah, bahwasannya beliau membalas
salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan merupakan
perkara yang wajib”.[67]
Faedah : Ibnu Abdil Barr berkata: “Berkata seseorang kepada
Abi Dzar: “Fulan menyampaikan / menitipkan salam kepadamu” Maka Abu Dzar
menjawab: “Salam itu adalah sebuah hadiah yang baik dan yang ringan untuk
dipikul”.[68]
21.
Mendahulukan shalat tahiyyat al-masjid sebelum mengucapkan salam ketika
seseorang masuk kedalam masjid.
Seseorang yang
masuk kemasjid, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah tahiyyat al-masjid
terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam kepada orang yang berada didalam
masjid. Pada hadits sahabat yang keliru dalam pengerjaan shalatnya, yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk kedalam masjid kemudian seseorang masuk kedalam masjid
lalu mengerjakan shalat, kemudian dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mengucapkan salam kepadanya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: “Kembalilah, dan shalatlah !
sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalat (sampai tiga kali)…al-hadits “.[69]
Ibnul Qayyim
Al-Jauzi berkata: “Dan diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang masuk kedalam Masjid dan dia langsung melaksanakan
shalat dua rakaat tahiyyat al-masjid, kemudian dia mendatangi orang-orang yang
ada dimasjid lalu mengucapkan salam kepada mereka. Dengan demikian shalat tahiyyat
al-masjid didahulukan dari pada mengucapkan salam kepada orang yang ada
dalam masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyat al-masjid adalah hak Allah
ta’ala sedangkan mengucapkan salam kepada orang-orang itu adalah hak mereka,
hak Allah dalam keadaan yang seperti ini lebih berhak untuk didahulukan,
kemudian beliau mengutip hadist sahabat yang keliru dalam shalatnya sebagai
dalil atas ulasan beliau.
Kemudian Ibnul
Qayyim melanjutkan: “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak
mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid”.[70]
Saya berkata:
“Ini adalah ketentuan bagi orang yang masuk kemasjid dan di dalamnya ada
sekelompok orang yang sedang duduk-duduk atau ada halaqah ilmu atau selainnya.
Maka yang disunahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat tahiyyat
al-masjid, kemudian setelah selesai shalat barulah ia mendatangi mereka dan
menyampaikan salam kepada mereka. Adapun jika masuk masjid sementara orang-orang
tersebut masih melakukan shalat, hendaklah dia memberikan salam kepada mereka
terlebih dahulu baru melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid atau melakukan apa
yang telah ditetapkan padanya. Wallahu a’lam.
22.
Makruh mengucapkan salam ketika mendengarkan khutbah jum’at.
Dalil dari
masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhialallahu
‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu
mengatakan kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah!” sementara imam masih
menyampaikan khutbahnya maka kamu telah lalai”.[71]
Berdasarkan hal
ini maka tidak disyariatkan memberikan salam kepada siapapun ketika khatib
masih menyampaikan khutbah, demikianlah yang telah diperintahlkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni agar semua makmum diam ketika
sedang mendengarkan khutbah imam pada hari Juma’at.
Masalah : “Apabila seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at
kemudian mengucapkan salam kepada jama’ah yang ada didalamnya, apakah wajib
bagi makmum yang berada didalam untuk menjawab salam tersebut?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan: “Tidak
diperbolehkan bagi siapa saja ketika masuk masjid untuk mengucapkan salam pada
hari Jum’at sedangkan imam sedang menyampaikan khutbah, dan bagi yang berada
didalam masjid tidak diperbolehkan menjawab salam disaat imam khuthbah. Akan
tetapi jikalau dia memjawabnya dengan isyarat maka hal tersebut diperbolehkan”[72].
Masalah : Apakah yang harus dilakukan seorang makmun
seseorang yang berada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya dan
menyalaminya disaat imam sedang khuthbah?
Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah menyatakan: “Berjabatan tangan
saja tanpa berbicara. Kemudian menjawab salam ketika imam istirahat/selesai
khutbah pertama. Apabila dia engucapkan salam sementara imam sedang khuthbah
yang kedua, maka anda menjawab salamnya setelah khathib menyelesaikan khuthbah
yang kedua”.[73]
23.
Mendahulukan salam sebelum berbicara.
Adapun para
As-Salaf Ash-Shaleh jika mereka saling bertemu, maka mereka mendahulukan salam
sebelum bicara dan saling bertanya tentang keadaan mereka dan kebutuhan mereka.
An-Nawawi berkata, “Yang termasuk Sunnah, jika seorang muslim mengucapkan salam
sebelum dia berbicara. Hadist-hadits yang shahih serta amalan ulama Salaf dan
ulama kontemporer sudah demikian populernya menyepakati hal itu. Inilah
pendapat yang dijadikan acuan dalam pasal pembahasan ini. Adapun hadits,
sebagaimana yang telah kami riwayatkan didalam kitab At-Tirmidzi dari Jabir
radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ucapkan salam sebelum berbicara”. Akan tetapi hadits ini dha’if.
At-Tirmidzi mengatakan: “ Hadits ini hadits munkar”.[74]
24.
Salam kepada pelaku maksiat dan pelaku bid’ah
Adapun pelaku
maksiat, maka hendaklah mengucapkan salam kepada mereka dan menjawab salamnya
ketika mereka mengucapkan salam kepada kita. An-Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwasannya
seorang muslim yang tidak terkenal sebagai pelaku kefasikan dan bid’ah, maka
hendaklah mengucapkan salam kepadanya dan wajib menjawab salamnya.[75]
Akan tetapi
jika dia telah dikenali sebagai seorang pelaku maksiat dan kefasikan serta
pelaku bid’ah, apakah akan dikatakan untuk meninggalkan ucapan salam kepadanya
?
Maka kita
jawab: “Apabila hal itu akan memberikan mashlahat kepada pelaku maksiat
tersebut yaitu dia akan meninggalkan kemaksiatan, apabila tidak diberi salam
ataukah dengan tidak menjawab salamnya. Apabila hal tersebut untuk suatu
kemashlahatan maka salam dapat ditinggalkan dan tidak diucapkan kepadanya agar
sipelaku maksiat berhenti dari perbuatannya. Adapun jikalau yang terjadi
sebaliknya, dan besar kemungkinan dalam persepsi kita, bahwa kemasiatannya akan
bertambah, maka kita tidak mengapa mengucapkan salam kepadanya dan menjawab
salamnya untuk meminimalisir mafsadat. Karena tidak ada mashalat yang tercapai.
Dan masalah ini dasarnya kembali kepada masalah pemboikotan – yaitu kepada
pelaku maksiat dan bid’ah , pent -
Sedangkan
kepada pelaku bid’ah. Sesungguhnya bid’ah sendiri terbagi menjadi dua
bagian. Ada bid’ah mukafirrah (yang menyebabkan pelakunya kafir) dan yang tidak
menyebabkan pelakunya kafir. Maka bagi pelaku bid’ah mukaffirah, tidak
diperbolehkan mengucapkan salam kepadanya dalam keadaan apapun. Dan bagi pelaku
bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir, maka hukumnya serupa dengan
hukum bagi pelaku maksiat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Kami akan
menyadur perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin tentang masalah
pemboikotan terhadap pelaku bid’ah. Penjelasan beliau ditujukan kepada masalah
yang berkaitan dengan mengucapkan salam kepada pelaku bid’ah. Namun masalah
tersebut tidak ada perbedaannya, karena masalah pemboikotan juga mencakup
peninggalan ucapan salam dan menjawabnya.
Asy-Syaikh
berkata: “Adapun memboikot mereka (pelaku bid’ah), maka itu tergantung kepada
kebid’ahannya, jika bid’ahnya itu mukaffirah, maka wajib untuk memboikotnya.
Akan tetapi jika bukan merupakan bid’ah mukaffirah maka pemboikotan terhadapnya
bergantung terhadap mashlahat yang tercapai, jika ada maka kita melakukannya
dan jika tidak terdapat mashalahat dalam pemboikotan tersebut maka kita
meninggalkannya. Hal tersebut dikarenakan asal pada seorang mukmin adalah
pengharaman dalam memboikotnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tidak menegur saudaranya lebih
dari tiga hari”.[76]
Dalil maslaah
ini adalah hadits Ka’ab bin Malik radhialahu ‘anhu yang sangat panjang ketika
beliau menyelisihi tidak ikut berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan taubat beliau kepada Allah. Pada hadits tersebut Ka’ab berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk
berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah menyelisihi beliau,
maka orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap mereka kepada
kami. Sehingga bumi ini terasa sempit bagi, tidaklah sebagaimana yang telah
saya ketahui. Kamipun berada dalam keadaan demikian selama lima puluh malam.
Adapun kedua temanku, keduanya berdiam diri dan duduk dirumah mereka berdua
menangis. Sedangkan saya, saya adalah yang paling muda dan paling gigih
diantara mereka. Sayapun menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berada
dipasar, namun tidak seorangpun yang menyapaku. Dan saya mendatangi Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau,
sementara beliau masih berada ditempat duduk beliau selepas mengerjakan shalat.
Maka saya bertanya kepada diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya
menjawab salamku atau tidak ? “[77]
25.
Disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika bubar dari majelis.
Sebagaimana
disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majlis maka
begitu pula disunnahkan untuk menyampaikan salam ketika hendak meninggalkan
majlis. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Jika
seseorang mendatangi majlis, maka hendaklah ia mengucapkan salam ketika hendak
berdiri maka hendaknya dia mengucapkan salam. Dan salam yang pertama tidaklah
lebih utama dari salam yang terakhir “[78]
Catatan Kaki:
[2] HR. Muslim dalam bab Penjelasan tentang tidak akan masuk surga kecuai
orang yang beriman. No 54.
[5] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi cetakan Daar Al-Fikr, Fathul Baari,
hadits no.6231, cetakan Daar Ar-Rayyan, dan Al-Adab Asy-Syar’iyah.
[6] HR. Abu Daud no.5210. Syaikh Al-Albani berkata :”Hadits ini shahih.” Dan
diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Bar dengan menyandarkannya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau menyifatkannya bahwa hadits ini
hasan. Karena di dalamnya terdapat Sa’id bin Khalid Al-Khuza’i. Beliau berkata
:"(Sanadnya) tidak mengapa.” Dan sungguh jamaah mendhaifkan hadits ini.
(At-Tamhid : juz 5 hal 290 cetakan Daar Ath-Thayyibah.) Dan didalam Irwa’
Al-Ghalil, Asy-Syaikh Al-Albani menganggap hadits ini hasan, dan beliau
membawakan pendapat An-Naisabury (hadits ini hasan). Kemudian beliau
menggabungkan beberapa jalan sebagai penguat hadits ini. Beliau berkata pada
pembahasan lain : Dikarenakan hadits ini memiliki penguat, maka dia terangkat
derajatnya menjadi hasan. Akan tetapi ini secara dhahir.
Wallahu a’lam.” (Al-Irwa’, hadits no.778). Peringatan
: Bab ini sangat panjang, dikarenakan diamnya jamaah atas penshahihan hadits
ini. Jika salah seorang diantara mereka menolakknya, maka yang lain pun akan
mengetahuinya. Wallahu taufiq.
[7] HR. At-Tirmidzi no.2689 dan beliau berkata :”Hadits hasan shahih gharib”,
dan diriwayatkan Al-Bukhari dalam adabul mufrad no 986, dan albani berkata
:”Hadits ini shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.19446, dan Ad-Darimi
no.2640.
[12] Maksudnya adalah sebagian mereka ada yang belum mendengar dan
maksud………(Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (11/29) dan perkataan An-Nawawi
dalam Riyadhus Shalihin (Bab Kaifa Salam hal.291) Penerbit Daarul Ilmi
Al-Kutub, cetakan ke duabelas th.1409 H.
[13] Fathul Baari hadits no.6244 (11/29) Lihat juga tentang perkara ini pada
kita Zaadul Maad (2/418) Penertbit Muasasah Ar-Risalah.
[14] Al-Adab Al-Mufrad hadits no.1005. Al-Albani mengatakan: shahih
sanadnya, demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam shahih Adab
Al-Mufrad hal.385.
[16] Al-Adzkar hal.304 dan 355 dan beliau telah banyak mengutip, disebabkan
banyaknya orang-orang yang menggampangkan dalam menjawab salam, maka jika
seorang muslim tidak memperhatikannya ia akan mendapat dosa karenanya.
[17] Perkataan ini di kaitkan kepada kaum muslimin dan bukan yang lainnya, maka
tidak masuk padanya orang kafir karena tidak akan diterima do’a untuk mereka.
[25] HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (994) dan Ibnu Hajar
menshahihkan sanadnya dalam Fathul Baari (11/18) Dan Asy-Syaikh Al-Albaniy
menshahihkannya dalam shahih Adabul Mufrad (1146)
[26] HR.Abu Daud (5200) dengan dua sanad yang salah satunnya marfu’ (sampai
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sedangkan yang satu lagi
mauquf (sampai kepada sahabat) dan Al-Albaniy berkata, “Shahih secara mauquf
dan secara marfu’)
[37] Ahkam Ahli Dzimmah (1/345-346) Ramadi lin-Nasyri, cetakan pertama tahun
1418H, dan lihat fatawa al aqidah oleh ibnu ‘Utsaimin hal.235-236. Dan
As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al- Albani (2/327-330).
[45] HR. At-Tirmidzi (2697) dan lafazh ini adalah lafazh riwayat beliau,
Ahmad (27014) dan Ibnu Majah (3701), Ad-Darimi (2637), dan Al-Bukhari dalam
kitab Al-Adab Al-Mufrad (1003, 1047) dan Al-Albaniy berkata: hadits shahih.
[51] HR. Abu Daud (926) ini adalah hadits Muslim yang telah lalu (540)
dan telah dijelaskan riwayat Abu Daud yakni padanya terdapat penjelasan bahwa
menjawab salam ketika sedang shalat itu dengan tangan.
[53] ‘Aun al-Ma’bud , syarah sunan Abu Daud (jilid 12 juz 3 hal.128)
terbitan Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah
[57] HR. Abu Daud dan lafazh ini lafazh riwayat beliau (17) Asy-Syaikh
Al-Albaniy berkata hadist ini shahih, dan berkata Ibnu Muflih pada salah satu
jalan, “Isnadnya jayyid”, Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/355), Ahmad (18555),
An-An-Nasaa`i (38), Ibnu Majah (351) dan Ad-Darimi (2641)
[58] Al-Adab Al-Mufrad oleh Al-Bukhari (1055) dan dikeluarkan juga oleh Ibnu
Abi Syaibah. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar “sanadnya hasan” (Fathul Baari
11/22) demikian juga Asy-Syaikh Al-Albaniy mengatakan sanadnya hasan pada
Shahih Al-Adab Al-Mufrad.
[66] Al-Hafidz didalam Fathul Baari menyandarkan hadits ini, kepada riwayat
An-Nasaa`i dari hadits Anas. Lihat Fathul Baari (11/14) (7/172)
[78] HR. At-Tirmidzi no.2861 dan beliau berkata, “Hadits ini hasan”. Dan
diriwaytakan juga oleh Abu Daud (5208), Al-Albaniy berkata hadits hasan shahih,
Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1008) Dan Ath-Thahawi dalam Musykil
Al-Atsar (1351) penerbit Muasasah Ar-Risalah
****
Sumber: Ebook Web http://al-atsariyyah.com/
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
Download Versi Ebook : Adab-Adab Memberikan Salam