Tampilkan postingan dengan label shalawat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label shalawat. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Januari 2014

Lafadz “SAYYIDUNA” Dalam Sholat, Bermasalahkah?


Beradab kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam merupakan kewajiban kita. Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki keimanan mempermasalahkan hal itu. Namun, bagaimana wujud adab kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ilmiah. Bagaimana dengan perkataansayyiduna dalam sholawat ketika sholat. Apakah sebaiknya kita mengucapkannya dengan alasan adab kepada Nabi, ataukah tidak mengucapkan karena hal juga merupakan petunjuk Nabi? Inilah yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini. Selamat mengikuti.


TEKS HADITS
لاَ تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ 
“Janganlah kalian menjadikan aku sayyid dalam sholat.”

Bahwa hadits diatas TIDAK ADA ASALNYA. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama ahli hadits. Al-Hafizh as-Sakhowi menegaskan: “Tidak ada asalnya”[1] Dan disetujui murid beliau Abdurrohman bin Ali asy-Syaibani[2], al-Qori [3] dan lain sebagainya.

Selain hadits ini adalah dusta dan tidak ada asalnya, ditinjau dari segi bahasa Arab, dalam lafadz hadits ini terdapat kejanggalan sebab secara kaidah bahasa seharusnya ( لاَ تُسَوّدُوْنِيْ ) dengan wawu karena fi’ilnya adalah wawi ( سَادَ- يَسُوْدُ)

Seorang penyair berkata:

وَمَا سَوَّدَتْنِيْ عَامِرٌ عَنْ وَرَاثَةٍ أَبَى اللهًُ أَنْ أَسْمُوَ بِأُمٍّ وَلاَ أَبٍ 
Tidaklah Amir memuliakanku karena warisan.
Alloh enggan kalau aku mulia dengan ibu atau bapak.[4]

An-Naji dalam Kanzu al-Afah mengatakan: “Adapun nukilan dari Sayyid Waro (Nabi) bahwa beliau bersabda:

‘Janganlah kalian mengatakan aku sayyid dalam sholat’, maka ini adalah kedustaan dan kepalsuan. Orang awam yang sering membawakan hadits ini pun salah dalam mengucapkan. Mereka mengatakan لاَ تُسَيِّدُوْنِيْ dengan ya’, padahal yang benar adalah dengan wawu”.[5]

ROSULULLOH shalallahu ‘alayhi wasallam ADALAH SAYYIDUNA

Makna sayyid adalah seorang yang utama, mulia, agung, berkedudukan tinggi, pemimpin umat, dan lain sebagainya dari kebaikan dan keutamaan. [6]

Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam adalah sayyid anak Adam. Beliau shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلاَ فَخَرَ 
“Saya adalah sayyid anak Adam dan tidak sombong.[7]

Imam al-Izzu bin Abdussalam berkata: “Sayyid adalah seorang yang memiliki sifat dan akhlak yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau manusia yang paling utama di dunia dan akhirat. Adapun di dunia karena beliau memiliki akhlak-akhlak yang agung sedangkan di akhirat karena balasan atau pahala bergantung pada akhlak. Kalau Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam dari segenap manusia pada sisi akhlak, maka kelak Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan beliau derajatnya di akhirat.

Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan hadits ini agar umatnya mengetahui kedudukan beliau di sisiRobbnya. Dan karena penyebutan kebaikan itu biasanya menjadikan kesombongan, maka Nabi menepis anggapan yang muncul dari orang jahil tersebut.” [8]

Bila ada yang bertanya: “Lantas bagaimana dengan teks hadits” :

عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ قَالَ أَبِى انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِى عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ « السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ». قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً. فَقَالَ « قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ 
Dari Muthorrif berkata: Ayahku mengatakan: Saya pernah pergi ke rombongan Bani Amir kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam, lalu kami mengatakan: Kamu adalah : Sayyiduna, maka Nabi bersabda: As-Sayyid adalah Alloh[9]. Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh ‘azza wa jalla. Kami mengatakan: Kamu adalah orang yang paling mulia dan agung di antara kami, maka beliau bersabda: Katakanlah dengan ucapan kalian atau sebagian ucapan kalian tetapi janganlah Setan menggelincirkan kalian.” (HR. Abu Dawud 4808)

Dzohir hadits ini tidak melarang kita mengatakan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wasallam adalahSayyiduna. Bukankah sekilas ada pertentangan antara dua hadits di atas?

Masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Pendapat yang kuat menurut kami bahwa boleh mengatakanSayyid kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam atau selainnya[10]. Adapun hadits ini, tidaklah menunjukkan larangan mengatakan Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, bahkan beliau mengizinkan dengan ucapannya “Katakanlah dengan ucapan kalian”. Yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah kalau setan menggelincirkan mereka yang berujung kepada sikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallahu ‘alayhi wasallam dan mengangkat beliau dari derajat yang telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wa ta’aala.[11]

LAFADZ DZIKIR ADALAH TAUQIFIYYAH

Dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktu dan tempatnya bersifat tauqifiyyah (paten). Tidak boleh seseorang menambah, mengurangi atau merubah lafadznya walaupun maknanya shohih[12]. Untuk lebih memahami kaidah ini, perhatikan hadits berikut; Baro’ bin Azib berkata:

Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam pernah berkata kepadaku: ‘Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu untuk sholat. Kemudian berbaringlah ke sisi kanan serta bacalah do’a: ‘Ya Alloh aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan kecuali kepada-Mu. Ya Alloh aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus’. Maka jika engkau meninggal pada malam harinya sungguh engkau meninggal dalam keadaan fitroh dan jadikanlah do’a tersebut akhir yang engkau ucapkan. Aku mencoba untuk mengingat-ingatnya kembali dan aku katakan: ‘rosul-Mu yang telah Engkau utus’. Nabi berkata: ‘Salah, tapi katakanlah dan nabi-Mu yang telah Engkau utus’.” (HR. Bukhori 247, Muslim 2710).[13]

Ibnu Bathol rahimahulloh berkata: “Lafadz-lafadz itu tidak boleh diganti karena telah keluar dari taman hikmah dan jawami’ul kalim (kalimat singkat tapi padat). Seandainya ucapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallamboleh dirubah dengan ucapan lainnya niscaya akan hilang faedah kehebatan bahasa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.” [14]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Hikmah yang paling tepat mengapa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam menyalahkan ucapan ‘rosul’ sebagai ganti dari ‘nabi’ adalah bahwa lafadz-lafadz dzikir adalahtauqifiyyah. Ada kekhususan yang tidak boleh dengan qiyas. Wajib untuk menjaga lafadz yang syar’i.”[15]

Imam al-Albani rahimahulloh mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat tegas, bahwa wirid-wirid dan dzikir adalah tauqifiyyah. Tidak boleh dirubah, baik dengan menambah, mengurangi atau merubah lafadz yang tidak merubah arti. Karena lafadz ‘rosul’ lebih umum dari ‘nabi’, tetapi Rosulullohshalallahu ‘alayhi wasallam tetap menyalahkannya”. [16]

Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “Termasuk kesalahan besar sebagian manusia adalah menjadikan dzikir-dzikir yang bukan dari Nabi sekalipun berasal dari tokoh mereka sendiri, lalu meninggalkan dzikir-dzikir dari Nabi Sayyid anak Adam dan Imam makhluk serta hujjah atas seluruh hamba”.[17]

Ibnu ‘Allan rahimahulloh mengatakan: “Tidak boleh seorang pun berpaling dari lafadz do’a Nabi. Dalam hal ini setan telah menggelincirkan manusia, sehingga ada suatu kaum yang membuat-buat lafadz do’a yang memalingkan dari petunjuk Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Maka waspadalah, janganlah kalian menyibukkan dengan hadits kecuali yang shohih saja.”[18]

BOLEHKAH MENAMBAH SAYYIDUNA DALAM SHOLAT?

Al-Munawi rahimahulloh berkata:
“Adapun menyebut Sayyidina dalam sholawat, maka hal ini dijelaskan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tatkala para sahabat bertanya kepada beliau tentang tata caranya, lalu beliau shalallahu ‘alayhi wasallam menjawab: ‘Katakanlah Allohumma sholli ‘ala Muhammad’ tanpa menyebut sayyidina.”

Oleh karenanya, Ibnu Abdissalam ragu-ragu. Apakah yang lebih utama adalah menyebut sayyidina sebagai bentuk adab kepada Nabi atau tidak menyebut sayyidina karena mengikuti dalil yang ada.

Sebagian mereka menguatkan pendapat yang kedua yaitu mencukupkan dengan lafadz yang ada, tanpa menambahinya. Sebagian lagi merinci, apabila dalam lafadz sholawat yang sudah ada contohnya tidak boleh ditambahi, apabila membuat sholawat sendiri tanpa lafadz yang sudah ada contohnya maka boleh menambahinya.[19]

Syaikh al-Albani rahimahulloh berkata: “Pembaca memperhatikan bahwa tidak ada satu pun lafadz tambahanSayyid pada hadits-hadits sholawat ketika sholat. Oleh karenanya, para ulama belakangan berselisih apakah tambahan tersebut disyari’atkan dalam sholawat Ibrohimiyyah[20]

Saya akan nukilkan fatwa penting dari al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani karena beliau adalah termasuk ulama Syafi’i yang ahli di bidang hadits dan fiqih.

Al-Hafidz Muhammad bin Muhammad al-Ghorobili (796-835) (murid imam Syafi’i ) berkata[21]: “Beliau (Ibnu Hajar) ditanya tentang sifat sholawat kepada Nabi dalam sholat atau di luar sholat. Apakah disyaratkan mengucapkan sayyidina ataukah tidak dan manakah yang lebih utama? Beliau menjawab: “Mengikuti atsar-atsar yang datang adalah lebih utama, jangan dikatakan: Barangkali Nabi shalallahu ‘alayhi wasallammeninggalkan hal itu karena sikap tawadhu’ beliau. Karena kita katakan bahwa seandainya hal itu disunnahkan niscaya hal itu akan dinukil dari para sahabat dan tabi’in, dan kami tidak mendapatkannya atsar dari sahabat dan tabi’in tentang hal itu.

Demikianlah pendapat al-Imam asy-Syafi’i –Semoga Alloh meninggikan derajatnya– dan ia adalah orang yang lebih mengagungkan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Di dalam khotbahnya yang termuat di kitab al-Umm dan merupakan pegangan utama pengikut madzhabnya, beliau berkata:

“Allohumma Sholli ‘ala Muhammad …” dan tidak berkata “Allohumma Sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad …” Al-Qodhi Iyadh membuat suatu bab tentang sholawat kepada Nabi dalam kitabnya asy-Syifa’. Beliau menyebutkan atsar-atsar yang banyak sekali dari sahabat dan tabi’in, tetapi tidak ada satupun tambahan ‘sayyidina’.

Masalah ini telah masyhur dalam fiqih. Namun seandainya hal itu sunnah niscaya tidak akan samar dan tidak dilalaikan oleh mereka semua, dan kebaikan itu adalah dalam ittiba’. Wallahu A’lam”.

Apa yang difatwakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh adalah kebenaran yang harus dipegang. Oleh karena itu Imam Nawawi rahimahulloh berkata dalam ar-Rodhoh 1/265:

“Lafadz sholawat yang paling utama adalah: Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad…tanpa menyebutkan sayyiduna.”

Kita yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, tetapi yang menjadi pembahasan adalah bolehkan menambahi lafadz dalam sholawat yang tidak ada contohnya? Seandainya tambahan itu termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Alloh subhanahu wa ta’aala, tentu akan disampaikan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam dan para salaf.

Kita mengetahui bahwa Salafush Sholih dari kalangan sahabat dan tabi’in tidaklah beribadah kepada Allohsubhanahu wa ta’aala dengan mengucapkan ‘Sayyidina’ di dalam sholat. Padahal mereka pasti lebih menghormati Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam daripada kita, dan lebih mencintainya[22]. Dan perbedaan antara mereka dan kita bahwa kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah benar-benar dipraktikkan dengan ittiba’ kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.”[23]

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi


__________________________________________________________________

[1] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 529.

[2] Tamyiz Thoyyib Minal Khobits hlm. 191.

[3] Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Hadits Maudhu’ hlm. 206.

[4] Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin.

[5] Kasyful Khofa’ 2/476 oleh al-‘Ajluni.

[6] Lihat Al-Mufhim 6/48 oleh al-Qurthubi dan Al-Yawaqit wa Duror 1/198 oleh al-Munawi.

[7] HR. Muslim 1/2176.

[8] Bidayatus Su’ul fii Tafdhil Rosul hlm. 34, Tahqiq al-Albani

[9] Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh q\. (Lihat Fiqhul Asma Husna hlm. 311 oleh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, An-Nahjul Asma 3/143 oleh Muhammad Hamud an-Najdi).

[10] Ada perbedaan tentang bolehnya mengatakan sayyid kepada selain Nabi n\, seperti kepada tokoh, alim dan lainnya. Pendapat yang benar adalah boleh berdasarkan dalil-dalil yang banyak. (Lihat Al-‘Urfu An-Nadi oleh asy-Syaukani, Bada’iul Fawaid 3/213 oleh Ibnu Qoyyim) dan Mu’jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 306-307 oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid). Namun tidak boleh mengatakan sayyid kepada orang kafir, munafiq dan ahli bid’ah karena itu termasuk penghormatan kepada mereka. (Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah Min Ahli Bida’ wal Ahwa 2/570 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili). Termasuk juga mengatakan kepada orang kafir dengan Mr, ini tidak boleh. (Lihat Mu’jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 287oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dan Fatawa Nur Ala Darb 1/414 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz).

[11] Al-‘Urfu An-Nadi fii Jawaz Ithlaq Lafdzi Sayyidi –Fathur Robbani- 11/5649 oleh asy-Syaukani dan Al-Qoulul Mufid 2/515 oleh Ibnu Utsaimin.

[12] Lihat penjelasan lebih luas tentang kaidah berharga ini dalam Tashih Dua’ hlm. 41-42 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Ahkamul Adzkar hlm. 7 oleh Zakariyya Ghulam al-Bakistani.

[13] Lihat faedah-faedah berharga hadits ini dalam kitab Min Kulli Surotin Faedah hlm. 55-62 oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhani.

[14] Syarh Shohih Bukhori 1/365.

[15] Fathul Bari 11/114.

[16] Shohih at-Targhib wat Tarhib 1/388.

[17] Majmu’ Fatawa 22/525.

[18] Syarh al-Adzkar 1/17.

[19] Al-Yawaqit wa Duror 1/199-200.

[20] Para ahli fikih Madzhab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah belakangan berpendapat bahwa tambahan sayyidina dalam sholat adalah sunnah dengan alasan adab kepada Nabi. (Lihat Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin, Hasyiyah al-Bajuri 1/156, Argumentasi Ulama Syafi’iyyah hlm. 208 oleh Ust. Mujiburrahman).

[21] Dalam sebuah manuskrip di Maktabah Dhohiriyyah. Fatwa ini juga dinukil oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi dalam al-Fashlul Mubin ‘ala Aqdi al-Jauhar Tsamin hlm. 70 sebagaimana dalam al-Qoulul Mubin fi Akhto’il Mushollin hlm. 154 oleh Syaikhuna Masyhur Hasan Salman rahimahulloh.

[22] Inilah hakekat cinta kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang sebenarnya, yaitu dengan ittiba’ (mengikuti sunnah beliau) dan tunduk terhadap petunjuk beliau, bukan hanya sekadar dengan pengakuan belaka.

[23] Dinukil secara ringkas dari Ashl Shifat Sholat Nabi 3/938-944 oleh al-Albani. Lihat pula Ittihaf Anam Bima Yata’allaqu bis Sholati was Salam Ala Khoiril Anam hlm. 55-57 oleh Ahmad bin Abdillah as-Sulami.

Kamis, 19 Desember 2013

Shalawat Nariyah Dalam Timbangan


Ustadz Abdullah Zaen. Lc, MA


KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT

Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Banyak nash (dalil) dari al-Qur’an maupun hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya Firman Allah Ta’ala: 

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS. al-Ahzab/33: 56).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam Tafsirnya[1], Allah Ta’ala memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasulullah di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allah Ta’ala memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu AllahTa’ala memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau.”

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali” (HR. Muslim 1/288­289 no. 384)

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allah Subhanahu wa ta'ala untuk para hamba-Nya adalah Allah merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalat ‘ald an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Imam Isma’il bin Ishaq al-Qadhi rahimahullah (199-282 H), jala’ul Afham fi Fadhlish Shaldt wa as-Salam ‘ald Muhammadin Khairil Anam karya Imam Ibn Qayyim al-jauziyyah rahimahullah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT 

Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allah Ta’ala kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Fakhruddin ar-Razy rahimahullah (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman AllahTa’ala :“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia jugs seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Qs. Al-Isra / 17:19).

Kata beliau rahimahullah, “Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya” (HR. Bukhari, 1/9 no. 1- al-Fath)

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allah serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allah dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya, “berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya” maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’aladengan melakukan amalan-amalan yang batil”.[3]

Imam Ibn Katsir rahimahullah (700-774 H) mempertegas, “Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasulullah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak” (HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allah; amalannya pun juga akan tertolak.”[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allah Ta’alaharus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan RasulShallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhlas dalam bershalawat berarti :
  • Hanya mengharapkan ridha Allah Ta’aladan pahala dari-Nya.
  • Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighatsah kepada selain AllahTa’ala, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allah kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma’shum ,Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.

Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat maksudnya :
  • Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang paling utama.
  • Bila menggunakan susunan shalawat dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,disyaratkan tidak mengandung unsur kesyirikan maupun ghuluw (sanjungan yang berlebihan) kepada beliau.
  •  Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
  • Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’aladalam QS. al-Ahzab/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.

SHALAWAT NARIYYAH DALAM TIMBANGAN

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fatih, shalawat Munjiyat, shalawat Thibbul Qulub, shalawat Wahidiyyah, dan tidak lupa sorotan kita ­shalawat Nariyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer.

Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’ruf.[6]

Selain itu, mereka juga sangat ‘kreatif’ dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.

Shalawat Nariyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat­-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]

Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau


SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYYAH?

Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SAHABAT NABI

Di sebuah situs Internet tertulis:
“Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syekh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat Nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allah, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allah memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.

Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allah. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.

Mengapa Sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru. Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allah sudah menjamin nabi-nabi-Nya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat”.[9]

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia. termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
  1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah ?
  2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat tersebut ? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya ?
Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para sahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama : Hilyatul Auliya’karya al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asfahani (336-430 H) dan Tahdzibul Kamal karya al-Hafizh Abul Hajjaj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti : a1-Isti’ab fi Ma’rifati1 Ash-hab karya al-Hafizh Ibn ‘Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishabatu fi Tamyizish Shahabah karya al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (773-852 H).

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarajim wa ath-thabaqat, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Nariyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal ??

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta ‘gelar’ syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan ‘gelar’ syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.

Kesimpulannya : berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap, Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.

Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu : Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishal dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]
Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak (118-181 H) pernah berkata, “Isnad adalah bagian dari agama. Jika tidak adaisnad, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.”[12]

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYYAH

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhidan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”

Bagian dari Shalawat Nariyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allah Ta’ala. Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah RasalullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur’an dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allah Ta’ala yang berkuasa melakukannya.


Mari kits cermati nash-nash berikut :

Allah Ta’ala berfirman :  
Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Alldh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya” (QS. an-Naml/27:62).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir rahimahullah [13]

Karena itulah, setelahnya Allah Ta’ala melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, “Adakah tuhan selain Allah?”. Hal ini mengisyaratkan, wallahu a’lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allah Ta’ala, seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan ‘saingan’ Allah Ta’ala. Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allah Ta’ala.

Senada dengan ayat di atas, firman Allah Ta’ala berikut : 
Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakan,“Allahlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!”. (QS. Al An'aam: 63-64) 

“Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya­lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan (QS. an-Nahl/16:53)

Dan masih banyak lagi firman Allah yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allah Ta’ala sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allah Ta’ala yang menghindarkannya dari diri kita.

Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allah  Ta’ala dalam segala urusan. Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :

“Ya Allah, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat” (HR. Ibnu Hibban 3/230 no. 949)

“Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata” (HR. al-Hakim 1/739 no. 2051).

“Ya Allah, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau” (HR. Abu Dawud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah, dan dinilai sahib oleh Ibn Hibban (III/250 no. 970).

Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allah Ta’aladan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah Ta’ala !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, “Janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?

Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LAILAHAILLALLAH yang menunjukkan -wallahua’lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allah Ta’ala.

Berdasarkan keterangan di atas yang menyebutkan adanya kesalahan akidah dalam shalawat Nariyah, maka tidak sepantasnya shalawat ini diamalkan oleh umat, baik dengan membaca dan menghafalkannya, apalagi sampai meyakini dan mengharapkan keutamaan darinya.

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nariyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nariyah tidak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasulullah hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14], bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap, yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]

Diantara hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allah Ta’ala berfirman : “Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an); mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-A’raf/7:157)

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan “pemuliaan” dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAMBERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH[17]
  
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.

Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menunaikan segala haknya.

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau, dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]

Kata al-Halimy (338-403 H), shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqam al-mahmud terlihat jelas.[19]

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasulullah, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allah Ta’ala berfirman : “Janganlah engkau jadikan panggilan Rasulullah di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain” (QS. an-Nur/24:63)

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, “Wahai Rasulullah” atau “Wahai Nabiyullah”.

Juga hendaknya penyebutan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditutup dengan shalawat ;  “shallallahu’alaihiwasallam” bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. (HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu At-Tirmidzi rahimahullahmenyatakan hadits ini “Hasan shahih gharib”).

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam keistimewaan dan mukjizatnya. Mengenalkan sunnah beliau kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Menceritakan sejarah hidup beliau serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau
meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.

Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan. Taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allah. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya : “Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. an-Nisa’/4:64).

Dan makna ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.[20]

Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamtersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA

Secara garis besar, Allah Ta’ala telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam QSan-Nisa’/4:171.

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya, “Janganlah kalian berlebihan dalam, memujiku Sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah,“(Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari (6/478 no. 3445 —al-Fath) dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu).

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid’ah.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita, (Suatu hari) ada seseorang yang berkata, “Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!”. Rasalullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allah tentukan untukku”. (HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai shahih oleh adh-Dhiya’ al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibb in (14/133 no. 6240).

Dengan keterangan di atas, insya Allah telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.

Beliau berkata, “Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allah izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na’udzubillahi min dzalik.Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya.[22]

Beliau rahimahullah menambahkan, “Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi :
Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan Allah dan meyakini bahwa Allah Maha Esa dalam Dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allah dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allah, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya.[23]  

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 06/ Dzulqa’dah 1431 H Oktober 2010 M
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com

Catatan Kaki:

[1] Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 6/457
[2] Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain di mukadimah Syaikh Masyhur bin Hasan Salmanhafizhahullah dalam tahqiq jula’ul Afham hlm. 8-29.
[3] Tafsir ar-Rdzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas, ar-Razy rahimahullah menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.(QS. Ali Imran/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu sudah sangat jelas dan tidak Samar.
[4] Tafsir Ibn Katsir (1/385).
[5] Dalam kitabnya Jala’ul Afham (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[6] Lihat : Atsar ash-shalawat al-Wdhidiyyah fi AkhlaqThullabMa’had at-Tahdib Ngoro Jombang ‘Am: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7] Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8] Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muham­mad Khadafi, dinukil dari Atsdr ash-Shalawat al-Wdhidiyyah hlm. 21
[10] Lihat, al-Fishal fi Al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (2/221).
[11] Lihat, Majmu’ al-Fatawal (1/9).
[12] Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13] Lihat Tafsir ibn Katsir (6/203)
[14] Lihat, al-Minhdjfl Syu’ab al-Iman karya al-Halimy (11/124) dan al-jfimi’li Syu’ab al-Imdn karya al-Baihaqy (111/95).
[15] Lihat, al-Minhaj fi Syu’ab al-Iman (II/124).
[16] Lihat, Ibid (11/125).
[17] Diringkas dari Huqaqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘aid Uin-matihfl Dhau’i al-Kitfib wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (11/466-478).
[18] Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19] Lihat, al-Minhdjfl Syu’ab al-Imfin (2/134).
[20] An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin karya KH. Muhammad Hasyim Asyari (hlm. 5-6).
[21] Lihat: Ar-Radd ‘ald al-Akhnd’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimi­yyah rahimahullah (hlm. 18) clan al-UsHl ats-Tsaldtsah wa Adillatuhd Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (hlm. 23).
[22] A1-Jauhar al-Munazham fi Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dariAra’ Ibn Hajar al-Haitami al-Ftiqadiyyah ‘Ardh wa TaqwFm ft Dhau’I ‘Aqfdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi rahimahullah (hlm. 450).
[23] A1-jauhar al-Miinazham (hlm. 13) dinukil dari Ara’ Ibn Hajar al-Haitami al-Ftiqfidiyyah.

Sumber: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/10/12/shalawat-nariyah-dalam-timbangan/

Rabu, 18 Desember 2013

Shalawat-Shalawat Nabi yang Shahih


عن أنس بن مالك  قال: قال رسول الله : «مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ» رواه النسائي وأحمد وغيرهما وهو حديث صحيح. 

Dari Anas bin malik radhiallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)”
[SHAHIH. Hadits Riwayat An-Nasa’i (no. 1297), Ahmad (3/102 dan 261), Ibnu Hibban (no. 904) dan al-Hakim (no. 2018), dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah, al-Hakim rahimahullah dan disepakati oleh adz-Dzahabi, rahimahullah juga oleh Ibnu hajar rahimahullah dalam “Fathul Baari” (11/167) dan al-Albani rahimahullah dalam “Shahihul adabil mufrad” (no. 643). ].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut [Lihat “Sunan an-Nasa’i” (3/50) dan “Shahiihut targiib wat tarhiib” (2/134)], karena ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta’ala [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169)].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

1). Banyak bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Lihat kitab “Mahabbatur Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bainal ittibaa’ walibtidaa’” (hal. 77).], karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya” [Lihat kitab “Minhaajus sunnatin nabawiyyah” (5/393) dan “Raudhatul muhibbiin” (hal. 264).].

2). Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang belakangan, seperti shalawat nariyah, badriyah, barzanji dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya. Karena shalawat adalah ibadah, maka syarat diterimanya harus ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Lihat kitab “Fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 3-4), tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.].

Juga karena ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Ya Rasulullah), sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami mengucapkan shalawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah: Ya Allah, bershalawatlah kepada (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau…dst seperti shalawat dalam tasyahhud [SHAHIH. Riwayat Bukhari (no. 5996) dan Muslim (no. 406)].

3). Makna shalawat kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memuji dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, di dunia dengan memuliakan peneyebutan (nama) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam yang beliau bawa. Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memudahkan syafa’at beliau kepada umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk [Lihat kitab “Fathul Baari” (11/156)].

4). Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya [Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:

{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}
“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43).  

Lafazh bacaan sholawat yang paling ringkas yang sesuai dalil-dalil yang shahih adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
Allahumma shollii wa sallim 'alaa nabiyyinaa Muhammad.
"Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad) .
[SHAHIH. HR. At-Thabrani melalui dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma’ Az-Zawaid 10/120 dan Shahih At- Targhib wat Tarhib 1/273].

Kemudian terdapat riwayat-riwayat yang Shahih dalam delapan riwayat, yaitu:

1. Dari jalan Ka'ab bin 'Ujrah

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى  آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

"Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid, Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid".

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 6/27, dan 7/156, Muslim 2/16, Abu Dawud no. 976, 977, 978, At Tirmidzi 1/301-302, An Nasa-i dalam "Sunan" 3/47-58 dan "Amalul Yaum wal Lailah" no 54, Ibnu Majah no. 904, Ahmad 4/243-244, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 900, 1948, 1955, Al Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/148 dan yang lainnya]

2. Dari jalan Abu Humaid As Saa'diy

اللهم صل على محمد وعلى أزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته كما باركت  على إبراهيم ، إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa  ibroohiim innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah,berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada isteri-isteri beliau dan keturunannya,sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan isteri-isteri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim,Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 7/157, Muslim 2/17, Abu Dawud no. 979, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/49, Ibnu Majah no. 905, Ahmad dalam "Musnad" nya 5/424, Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/150-151, Imam Malik dalam "Al Muwaththo' 1/179 dan yang lainnya].


3. Dari jalan Abi Mas'ud Al Anshariy

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa aali ibroohiim ,wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohiim fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim atas sekalian alam, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR Muslim 2/16, Abu Dawud no. 980, At Tirmidzi 5/37-38, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/45, Ahmad 4/118, 5/273-274, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1949, 1956, Baihaqi dalam "SUnanul Kubra" 2/146,dan Imam Malik dalam "AL Muwaththo' (1/179-180 Tanwirul Hawalik Syarah Muwaththo'"]

4. Dari jalan Abi Mas'ud, 'Uqbah bin 'Amr Al Anshariy (jalan kedua)

 للهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad yang ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Dan berkahilah Muhammad Nabi yang ummi dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR. Abu Dawud no. 981, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no. 94, Ahmad dalam "Musnad" nya 4/119, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1950, Baihaqi dalam "Sunan" nya no 2/146-147, Ibnu Khuzaimah dalam "Shahih" nya no711, Daruquthni dalam "Sunan" nya no 1/354-355, Al Hakim dalam "Al Mustadrak" 1/268, dan Ath Thabrany dalam "Mu'jam Al Kabir" 17/251-252]

5. Dari jalan Abi Sa'id Al Khudriy

اللهم صل على محمد عبدك ورسولك كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم
Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin ‘abdika wa rosuulika kamaa shol laita ‘alaa aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad hambaMu dan RasulMu, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim"

[SHAHIH, HR Bukhari 6/27, 7/157, An Nasa-i 3/49, Ibnu Majah no. 903, Baihaqi 2/147, dan Ath Thahawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/73]

6. Dari jalan seorang laki-laki sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

اللهم صل على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shollaita ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid , wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagimana Engkau telah memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR. Ahmad 5/347, Ini adalah lafazhnya, Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/74], dishahihkan oleh Al Albani dalam "Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam", hal 178-179].

7. Dari jalan Abu Hurairah

اللهم صل على محمد و على آل محمد وبارك على محمد و على آل محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shollaita wa baarokta ‘alaa ibroohiim wa 'alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad,sebagaimana Engkau telah bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia"

[SHAHIH, HR Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/75, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no 47 dari jalan Dawud bin Qais dari Nu'aim bin Abdullah al Mujmir dari Abu Hurairah , Ibnul Qayyim dalam "Jalaa'ul Afhaam Fish Shalati Was Salaami 'alaa Khairil Anaam (hal 13) berkata, "Isnad Hadist ini shahih atas syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim), dan dishahihkan oleh Al Albani dalam "Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam", hal 181 ]

8. Dari jalan Thalhah bin 'Ubaidullah

اللهم صل على محمد و على آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد و على آل محمد كما باركت على إبراهيم و آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim wa 'alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

"Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim,sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia".

[SHAHIH, HR. Ahmad 1/162, An Nasa-i dalam "Sunan: nya 3/48 dan "Amalul Yaum wal Lailah" no 48, Abu Nu’aim dalam "Al Hilyah" 4/373,semuanya dari jalan 'Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah, dari bapaknya (Thalhah bin 'Ubaidullah), dishahihkan oleh Al Albani].


► Tentang Ucapan  صلى ا لله عليه وسلم

Di sunnahkan (sebagian ulama mewajibkannya) mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan :

صلى ا لله عليه وسلم

"Shallallahu 'alaihi wa sallam"

Riwayat-riwayat yang datang tentang ini banyak sekali, diantaranya dari dua hadits shahih di bawah ini:

1. Dari jalan Husain bin 'Ali bin Abi Thalib, ia berkata, "Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang apabila namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku (dengan ucapan-red) صلى ا لله عليه وسلم  ("shallallahu 'alaihi wa sallam"). [SHAHIH. Dikeluarkan oleh AT Tirmidzi 5/211, Ahmad 1/201 no 1736, An Nasa-i no 55,56 dan 57, Ibnu Hibban 2388, Al Hakim 1/549, dan Ath Thabraniy 3/137 no 2885.

2. Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku". [SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi 5/210, dan Al Hakim 1/549. Dan At Tirmidzi telah menyatakan bahwa hadits ini Hasan].

Hadits ke dua ini, banyak syawaahidnya dari jama'ah para shahabat, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kiatb : At Targhib wat Tarhib" (2/506-510) Imam Al Mundzir, "Jalaa-ul Afhaam (hal 229-240) Ibnu Qayyim, Al Bukhari dalam "Adabul Mufrad" (no 644, 645), Ibnu Khuzaimah (no 1888), Ibnu Hibban (no 2386 dan 2387 - Mawaarid).

[Disalin dari Kitab "Sifat Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pustaka Imam Syafi'i, dan beberapa tambahan fawaid darihttp://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/07/23/keutamaan-membaca-shalawat-kepada-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam/ ]