Senin, 26 Desember 2016

SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA.

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT WITIR

Para ahli fiqih sepakat bahwa waktu untuk shalat witir adalah dari mulai setelah shalat isya’ sampai terbitnya fajar atau masuk waktu subuh. Ini sebagaimana perkataan ibunda Aisyah –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau-, beliau mengatakan ;

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Setiap malam Rasululloh -Shalallohu alaihi wa Sallam- melakukan witir pada awal malam, pertengahan atau pada akhirnya, dan witir beliau berakhir sampai waktu sahur.” (HR : Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

Demikian pula hadits Jabir –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau– beliau mengatakan ;

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Barang siapa yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di awal malam, dan barang siapa yang merasa mampu untuk bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam, karena shalat yang di kerjakan di akhir malam di persaksikan (oleh Malaikat) dan yang demikian itu lebih utama.” (HR : Muslim)

Adapun Syaikh Fauzan mengatakan bahwa seluruh waktu malam hari maka ia adalah waktu untuk shalat witir, kecuali sebelum Isya’. [Al Mulakhas Al Fiqh 1/118 Darul Aqidah]

BAGAIMANA HUKUM SHALAT WITIR SETELAH TERBITNYA FAJAR,.?

Para fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat witir bisa dilakukan setelah masuk waktu subuh dengan catatan ia belum mengerjakan shalat subuh. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Ada dalam Taisirrul Allam Syarh Umdatil Ahkam hal. 149 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah]. Mereka berpedoman pada beberapa riwayat, diantaranya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Al Muwatta’ ;

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ: مَا أُبَالِي لَوْ أُقِيمَتْ صَلاَةُ الصُّبْحِ، وَأَنَا أُوتِرُ

“Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwasannya Abdullah bin Mas’ud mengatakan ; Aku tidak perduli seandainya shalat subuh di tegakkan sedangkan aku sedang melakukan shalat witir.” (HR : Malik dalam Al Muwatta’)

Demikian pula dengan sebuah riwayat yang terdapat dalam Mushannaf Abdur Razaq ;

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ: جَاءَ نَفَرٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَسَأَلُوهُ عَنِ الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: «لَا وِتْرَ بَعْدَ الْأَذَانِ»، فَأَتَوْا عَلِيًّا فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: «لَقَدْ أَغْرَقَ النَّزْعَ، وَأَفْرَطَ فِي الْفُتْيَا، الْوِتْرُ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ»

“Dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari ‘Ashim bin Dhamrah ia mengatakan ; Datang sekelompok orang kepada Abu Musa Al Asy’ari lantas mereka bertanya kepadanya tentang shalat witir? Maka beliau mengatakan ; Tidak ada witir setelah adzan subuh. Lalu mereka mendatangi Ali dan mengabarkan hal itu kepadanya, maka lantas Ali mengatakan ; Sungguh perbedaan itu terlalu berlebihan, dan fatwa itu terlalu melampaui batas, witir itu antara dirimu dan shalat subuh. “ (Mushannaf Abdur Razaq, jilid 3 no. 4601)

Adapun yang lain berpendapat bahwa waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur, atau dengan kata lain mulai masuk waktu subuh. Ini merupakan salah satu riwayat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, demikian pula Hanabilah. Pendapat ini pula yang di pilih oleh syaikh Ibnu Baz, dan syaikh Utsaimin. Mereka berdalil dengan beberapa riwayat yang jelas menegaskan bahwa waktu shalat witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur. Diantaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas.

Terdapat pula riwayat dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, bahwa Ibnu Mas’ud berkata ;

الْوِتْرُ مَا بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

“Witir itu (bisa di kerjakan) di antara dua shalat (Isya’ dan Subuh).” (Mushannaf Abdur Razaq)

Jika kita melihat rSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT WITIR

Para ahli fiqih sepakat bahwa waktu untuk shalat witir adalah dari mulai setelah shalat isya’ sampai terbitnya fajar atau masuk waktu subuh. Ini sebagaimana perkataan ibunda Aisyah –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau-, beliau mengatakan ;

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Setiap malam Rasululloh -Shalallohu alaihi wa Sallam- melakukan witir pada awal malam, pertengahan atau pada akhirnya, dan witir beliau berakhir sampai waktu sahur.” (HR : Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

Demikian pula hadits Jabir –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau– beliau mengatakan ;

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Barang siapa yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di awal malam, dan barang siapa yang merasa mampu untuk bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam, karena shalat yang di kerjakan di akhir malam di persaksikan (oleh Malaikat) dan yang demikian itu lebih utama.” (HR : Muslim)

Adapun Syaikh Fauzan mengatakan bahwa seluruh waktu malam hari maka ia adalah waktu untuk shalat witir, kecuali sebelum Isya’. [Al Mulakhas Al Fiqh 1/118 Darul Aqidah]

BAGAIMANA HUKUM SHALAT WITIR SETELAH TERBITNYA FAJAR,.?

Para fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat witir bisa dilakukan setelah masuk waktu subuh dengan catatan ia belum mengerjakan shalat subuh. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Ada dalam Taisirrul Allam Syarh Umdatil Ahkam hal. 149 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah]. Mereka berpedoman pada beberapa riwayat, diantaranya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Al Muwatta’ ;

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ: مَا أُبَالِي لَوْ أُقِيمَتْ صَلاَةُ الصُّبْحِ، وَأَنَا أُوتِرُ

“Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwasannya Abdullah bin Mas’ud mengatakan ; Aku tidak perduli seandainya shalat subuh di tegakkan sedangkan aku sedang melakukan shalat witir.” (HR : Malik dalam Al Muwatta’)

Demikian pula dengan sebuah riwayat yang terdapat dalam Mushannaf Abdur Razaq ;

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ: جَاءَ نَفَرٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَسَأَلُوهُ عَنِ الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: «لَا وِتْرَ بَعْدَ الْأَذَانِ»، فَأَتَوْا عَلِيًّا فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: «لَقَدْ أَغْرَقَ النَّزْعَ، وَأَفْرَطَ فِي الْفُتْيَا، الْوِتْرُ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ»

“Dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari ‘Ashim bin Dhamrah ia mengatakan ; Datang sekelompok orang kepada Abu Musa Al Asy’ari lantas mereka bertanya kepadanya tentang shalat witir? Maka beliau mengatakan ; Tidak ada witir setelah adzan subuh. Lalu mereka mendatangi Ali dan mengabarkan hal itu kepadanya, maka lantas Ali mengatakan ; Sungguh perbedaan itu terlalu berlebihan, dan fatwa itu terlalu melampaui batas, witir itu antara dirimu dan shalat subuh. “ (Mushannaf Abdur Razaq, jilid 3 no. 4601)

Adapun yang lain berpendapat bahwa waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur, atau dengan kata lain mulai masuk waktu subuh. Ini merupakan salah satu riwayat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, demikian pula Hanabilah. Pendapat ini pula yang di pilih oleh syaikh Ibnu Baz, dan syaikh Utsaimin. Mereka berdalil dengan beberapa riwayat yang jelas menegaskan bahwa waktu shalat witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur. Diantaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas.

Terdapat pula riwayat dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, bahwa Ibnu Mas’ud berkata ;

الْوِتْرُ مَا بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

“Witir itu (bisa di kerjakan) di antara dua shalat (Isya’ dan Subuh).” (Mushannaf Abdur Razaq)

Jika kita melihat riwayat yang ada, yaitu adanya riwayat yang menunjukkan di perbolehkannya shalat witir setelah terbit fajar (selama belum shalat subuh) dengan riwayat yang menunjukkan waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur,  maka hadits yang menunjukkan di perbolehkannya shalat witir setelah terbit fajar (selama belum shalat subuh) ini berlaku bagi orang yang lupa belum melakukan shalat witir, atau tertidur hingga belum shalat witir sampai terbit fajar. Adapun riwayat yang menunjukkan waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur maka hal ini bagi orang yang mampu melakukannya, dan inilah yang utama. Inilah pendapat yang pertengahan dan yang lebih tepat insyaAlloh.

HUKUM MENGQADHA SHALAT WITIR

Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa beliau Shalallohu ‘alaihi wa Sallam biasa mengqadha shalat malam beserta witirnya di siang harinya apabila beliau terlewat darinya karena tidur ataupun karena sakit. Diantaranya adalah ;

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari menunaikan shalat malam karena ketiduran atau sakit maka di siang harinya beliau melakukan shalat dua belas (12) rekaat,.” (HR : Muslim dan Abu Dawud)

Jika biasanya seseorang shalat witir tiga (3) rekaat maka ia mengqadhanya dengan empat (4) rekaat, jika ia biasa witir dengan lima (5) rekaat maka ia mengqadhanya dengan enam (6) rekaat, sebagaimana hadits diatas.

Wallohu alam.

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT WITIR

Para ahli fiqih sepakat bahwa waktu untuk shalat witir adalah dari mulai setelah shalat isya’ sampai terbitnya fajar atau masuk waktu subuh. Ini sebagaimana perkataan ibunda Aisyah –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau-, beliau mengatakan ;

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Setiap malam Rasululloh -Shalallohu alaihi wa Sallam- melakukan witir pada awal malam, pertengahan atau pada akhirnya, dan witir beliau berakhir sampai waktu sahur.” (HR : Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

Demikian pula hadits Jabir –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau– beliau mengatakan ;

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Barang siapa yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di awal malam, dan barang siapa yang merasa mampu untuk bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam, karena shalat yang di kerjakan di akhir malam di persaksikan (oleh Malaikat) dan yang demikian itu lebih utama.” (HR : Muslim)

Adapun Syaikh Fauzan mengatakan bahwa seluruh waktu malam hari maka ia adalah waktu untuk shalat witir, kecuali sebelum Isya’. [Al Mulakhas Al Fiqh 1/118 Darul Aqidah]

BAGAIMANA HUKUM SHALAT WITIR SETELAH TERBITNYA FAJAR,.?

Para fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat witir bisa dilakukan setelah masuk waktu subuh dengan catatan ia belum mengerjakan shalat subuh. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Ada dalam Taisirrul Allam Syarh Umdatil Ahkam hal. 149 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah]. Mereka berpedoman pada beberapa riwayat, diantaranya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Al Muwatta’ ;

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ: مَا أُبَالِي لَوْ أُقِيمَتْ صَلاَةُ الصُّبْحِ، وَأَنَا أُوتِرُ

“Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwasannya Abdullah bin Mas’ud mengatakan ; Aku tidak perduli seandainya shalat subuh di tegakkan sedangkan aku sedang melakukan shalat witir.” (HR : Malik dalam Al Muwatta’)

Demikian pula dengan sebuah riwayat yang terdapat dalam Mushannaf Abdur Razaq ;

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ: جَاءَ نَفَرٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَسَأَلُوهُ عَنِ الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: «لَا وِتْرَ بَعْدَ الْأَذَانِ»، فَأَتَوْا عَلِيًّا فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: «لَقَدْ أَغْرَقَ النَّزْعَ، وَأَفْرَطَ فِي الْفُتْيَا، الْوِتْرُ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ»

“Dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari ‘Ashim bin Dhamrah ia mengatakan ; Datang sekelompok orang kepada Abu Musa Al Asy’ari lantas mereka bertanya kepadanya tentang shalat witir? Maka beliau mengatakan ; Tidak ada witir setelah adzan subuh. Lalu mereka mendatangi Ali dan mengabarkan hal itu kepadanya, maka lantas Ali mengatakan ; Sungguh perbedaan itu terlalu berlebihan, dan fatwa itu terlalu melampaui batas, witir itu antara dirimu dan shalat subuh. “ (Mushannaf Abdur Razaq, jilid 3 no. 4601)

Adapun yang lain berpendapat bahwa waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur, atau dengan kata lain mulai masuk waktu subuh. Ini merupakan salah satu riwayat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, demikian pula Hanabilah. Pendapat ini pula yang di pilih oleh syaikh Ibnu Baz, dan syaikh Utsaimin. Mereka berdalil dengan beberapa riwayat yang jelas menegaskan bahwa waktu shalat witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur. Diantaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas.

Terdapat pula riwayat dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, bahwa Ibnu Mas’ud berkata ;

الْوِتْرُ مَا بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

“Witir itu (bisa di kerjakan) di antara dua shalat (Isya’ dan Subuh).” (Mushannaf Abdur Razaq)

Jika kita melihat rSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1 )

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajiSHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

SHOLAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 1)

PENGERTIAN

‘Witir’ secara bahasa adalah nama untuk bilangan ganjil, seperti satu (1), tiga (3), lima (5) dan seterusnya. Yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– ;

إنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

“Sesungguhnya Alloh itu satu (ganjil) dan menyukai bilangan ganjil,.” (HR : Abu Dawud & Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan)

Demikian pula Nabi bersabda ;

مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

“Barang siapa yang beristijmar (cebok dengan mengunakan batu) maka hendaknya ia mengganjilkannya,.” (HR : Al Hakim dalam Al Mustadrak)

Adapun secara istilah ‘witir’ adalah shalat yang di lakukan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuk waktu subuh). Di namakan demikian karena ia di kerjakan dengan ganjil, yaitu satu (1) rekaat, tiga (3) rekaat dan seterusnya.

Sedangkan Syaikh Fauzan memberikan pengertian bahwa ‘witir’ adalah nama rekaat yang terpisah dari rekaat sebelumnya jika shalat tiga (3) rekaat, lima (5) rekaat atau tujuh (7) rekaat di kerjakan dengan dua salam. [lihat Al Mulakhos Al Fiqh 1/118)

HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/





HUKUM SHALAT ‘WITIR’

Mengenai hukumnya maka para ahli fiqih berbeda pendapat, pendapat pertama shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha atau mayoritas ahli fiqih, mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama ; Hadits Thalhah bin Ubaidillah tentang orang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Alloh mewajibkan kepadanya dalam sehari semalam shalat lima waktu. Kemudian orang tadi kembali bertanya ; “Apakah ada kewajiban lain untuk saya selain shalat lima waktu itu,.?”. Maka Nabi menjawab ;

« لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »

“Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.” (HR : Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dari hadits di atas dapat di pahami bahwa tidak ada shalat wajib lain selain shalat lima waktu, adapun shalat yang lain maka hukumnya sunnah.

Kedua : Hadits yang di riwayatkan oleh Imam An Nasai dan yang lainnya, dari Ubadah bin Shamit beliau mengatakan ; “Aku telah mendengar Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam– pernah bersabda ;

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Shalat lima waktu yang telah di tetapkan Alloh atas hamba-Nya, barang siapa yang datang dengannya (menunaikannya), serta ia tidak menelantarkannya karena menganggap remeh dengan kewajiban shalat tersebut, maka baginya janji dari Alloh akan di masukkan ke dalam Surga. Dan barang siapa yang tidak datang dengannya (menunaikannya) maka tidak ada baginya di sisi Alloh janji, jika Alloh menghendaki maka Alloh mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka ia akan di masukkan ke dalam Surga.” (HR : Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan lainnya)

Dari hadits ini juga kita dapatkan kesimpulan bahwa shalat yang telah di tetapkan Alloh atas hambanya adalah shalat lima waktu, selebihnya bukanlah wajib.

Ketiga : Riwayat yang datang dari Ali –semoga Alloh meridhai beliau– , beliau mengatakan ;

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat witir bukanlah suatu keharusan (kewajiban) sebagaimana shalat wajib, akan tetapi ia adalah sunnah yang telah di sunnahkan Rasululloh –Shalallohu ‘alaihi wa Sallam–.” (HR : Nasai, di shahihkan syaikh Al Albani)

Pendapat ke dua tentang hukum shalat witir adalah wajib. Ini merupakan pendapat yang di yakini oleh Imam Abu Hanifah sebagaimana termaktub di dalam kitab Fatkhul Qadir 1/300-303 karangan Asy Syaukani. Beliau berdalil dengan hadits-hadits berikut ;

Pertama : Hadits yang di dalamnya di sebutkan perkataan Nabi ;

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

“Shalat witir itu hak (benar / wajib), barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.” (HR : Abu Dawud)

Kedua : Hadits Amru bin ‘Ash, yang beliau menyebutkan bahwasanya Abu Bashrah mengatakan kepadanya sabda Nabi ;

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِىَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Alloh menambahkan untuk kalian shalat, yaitu shalat witir, maka kerjakanlah shalat itu, yang waktunya diantara shalat Isya’ dan shalat fajar (subuh).” (HR : Ahmad)

Orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya shalat witir berpendapat bahwasanya perintah di dalam lafadz hadits ini menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul fiqih.

Ketiga : Hadits yang di dalamnya di sebutkan bahwa tatkala Nabi terlewat mengerjakan shalat malam karena capek atau ketiduran maka beliau mengerjakan shalat pada siang harinya sebanyak dua belas (12) rekaat sebagai qadha. Di ceritakan :

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari shalat malam karena tertidur atau karena sakit maka beliau mengerjakan shalat dua belas (12) rekaat pada siang harinya. (HR : Muslim, Abu Dawud)

Mereka berpendapat, qadha yang di kerjakan Nabi dalam malam (yang di dalamnya juga terdapat shalat witir) itu menunjukkan wajibnya shalat witir.

TARJIH DARI DUA PENDAPAT

Jika kita telaah maka kita dapatkan pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas fuqaha, bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah. Pendapat kedua lemah dari beberapa sisi, pertama dalil dalil yang di gunakan oleh pendapat pertama lebih kuat, dan cukup menjadi bantahan atas dalil yang di gunakan oleh pendapat kedua. Sebagai contoh pendapat pertama menggunakan dalil sabda Nabi tatkala di tanya salah seorang Arab Badui, lalu di jelaskan oleh Nabi bahwa tidak ada lagi kewajiban shalat lain selain dari shalat lima waktu. Hadits shahih ini sangatlah jelas meniadakan shalat wajib yang lain selain shalat lima waktu.

Alasan kedua hadits riwayat Abu Dawud yang di gunakan sebagai dalil wajibnya shalat witir yang di dalamnya di sebutkan {“barang siapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan golongan kami.”} adalah hadits yang lemah, sebagaimana di jelaskan syaikh Al Albani di dalam Shahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud, demikian pula dalam Dhaiful Jami’ As Shaghir hadits no 6150.

Alasan ketiga kaidah fiqih {“Perintah menunjukkan wajib”} yang di terapkan pada hadits riwayat Ahmad diatas tidaklah tepat, karena pada lafadz sebelumnya jelas tertulis {“Alloh menambahkan untuk kalian shalat”} yaitu shalat tambahan yang sifatnya sunnah. Jika di pahami bahwa itu merupakan shalat wajib maka akan bertentangan dengan hadits lain yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari diatas yang menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat yang lima waktu.

Inilah pendapat yang benar. Wallohu a’lam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/sholat-witir-dan-hukumnya-bag-1/



SHALAT WITIR DAN HUKUMNYA (Bag. 2 Selesai)


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT WITIR

Para ahli fiqih sepakat bahwa waktu untuk shalat witir adalah dari mulai setelah shalat isya’ sampai terbitnya fajar atau masuk waktu subuh. Ini sebagaimana perkataan ibunda Aisyah –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau-, beliau mengatakan ;

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Setiap malam Rasululloh -Shalallohu alaihi wa Sallam- melakukan witir pada awal malam, pertengahan atau pada akhirnya, dan witir beliau berakhir sampai waktu sahur.” (HR : Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

Demikian pula hadits Jabir –semoga Alloh memberikan ridha kepada beliau– beliau mengatakan ;

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Barang siapa yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di awal malam, dan barang siapa yang merasa mampu untuk bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam, karena shalat yang di kerjakan di akhir malam di persaksikan (oleh Malaikat) dan yang demikian itu lebih utama.” (HR : Muslim)

Adapun Syaikh Fauzan mengatakan bahwa seluruh waktu malam hari maka ia adalah waktu untuk shalat witir, kecuali sebelum Isya’. [Al Mulakhas Al Fiqh 1/118 Darul Aqidah]

BAGAIMANA HUKUM SHALAT WITIR SETELAH TERBITNYA FAJAR,.?

Para fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat witir bisa dilakukan setelah masuk waktu subuh dengan catatan ia belum mengerjakan shalat subuh. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Ada dalam Taisirrul Allam Syarh Umdatil Ahkam hal. 149 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah]. Mereka berpedoman pada beberapa riwayat, diantaranya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Al Muwatta’ ;

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ: مَا أُبَالِي لَوْ أُقِيمَتْ صَلاَةُ الصُّبْحِ، وَأَنَا أُوتِرُ

“Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwasannya Abdullah bin Mas’ud mengatakan ; Aku tidak perduli seandainya shalat subuh di tegakkan sedangkan aku sedang melakukan shalat witir.” (HR : Malik dalam Al Muwatta’)

Demikian pula dengan sebuah riwayat yang terdapat dalam Mushannaf Abdur Razaq ;

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ: جَاءَ نَفَرٌ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَسَأَلُوهُ عَنِ الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: «لَا وِتْرَ بَعْدَ الْأَذَانِ»، فَأَتَوْا عَلِيًّا فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: «لَقَدْ أَغْرَقَ النَّزْعَ، وَأَفْرَطَ فِي الْفُتْيَا، الْوِتْرُ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ»

“Dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari ‘Ashim bin Dhamrah ia mengatakan ; Datang sekelompok orang kepada Abu Musa Al Asy’ari lantas mereka bertanya kepadanya tentang shalat witir? Maka beliau mengatakan ; Tidak ada witir setelah adzan subuh. Lalu mereka mendatangi Ali dan mengabarkan hal itu kepadanya, maka lantas Ali mengatakan ; Sungguh perbedaan itu terlalu berlebihan, dan fatwa itu terlalu melampaui batas, witir itu antara dirimu dan shalat subuh. “ (Mushannaf Abdur Razaq, jilid 3 no. 4601)

Adapun yang lain berpendapat bahwa waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur, atau dengan kata lain mulai masuk waktu subuh. Ini merupakan salah satu riwayat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, demikian pula Hanabilah. Pendapat ini pula yang di pilih oleh syaikh Ibnu Baz, dan syaikh Utsaimin. Mereka berdalil dengan beberapa riwayat yang jelas menegaskan bahwa waktu shalat witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur. Diantaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas.

Terdapat pula riwayat dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, bahwa Ibnu Mas’ud berkata ;

الْوِتْرُ مَا بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

“Witir itu (bisa di kerjakan) di antara dua shalat (Isya’ dan Subuh).” (Mushannaf Abdur Razaq)

Jika kita melihat riwayat yang ada, yaitu adanya riwayat yang menunjukkan di perbolehkannya shalat witir setelah terbit fajar (selama belum shalat subuh) dengan riwayat yang menunjukkan waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur,  maka hadits yang menunjukkan di perbolehkannya shalat witir setelah terbit fajar (selama belum shalat subuh) ini berlaku bagi orang yang lupa belum melakukan shalat witir, atau tertidur hingga belum shalat witir sampai terbit fajar. Adapun riwayat yang menunjukkan waktu witir berakhir dengan berakhirnya waktu sahur maka hal ini bagi orang yang mampu melakukannya, dan inilah yang utama. Inilah pendapat yang pertengahan dan yang lebih tepat insyaAlloh.

HUKUM MENGQADHA SHALAT WITIR

Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa beliau Shalallohu ‘alaihi wa Sallam biasa mengqadha shalat malam beserta witirnya di siang harinya apabila beliau terlewat darinya karena tidur ataupun karena sakit. Diantaranya adalah ;

وَكَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Dan beliau apabila terlewat dari menunaikan shalat malam karena ketiduran atau sakit maka di siang harinya beliau melakukan shalat dua belas (12) rekaat,.” (HR : Muslim dan Abu Dawud)

Jika biasanya seseorang shalat witir tiga (3) rekaat maka ia mengqadhanya dengan empat (4) rekaat, jika ia biasa witir dengan lima (5) rekaat maka ia mengqadhanya dengan enam (6) rekaat, sebagaimana hadits diatas.

Wallohu alam.

http://aburuqoyyah.com/2015/07/shalat-witir-dan-hukumnya-bag-2-selesai/