Senin, 09 Maret 2015

Sebagian Fiqh Bagi Usahawan Pangkas Rambut

Usaha apapun pada asalnya adalah diperbolehkan dan halal, termasuk dalam hal ini usaha pangkas rambut. Kaidah fiqhiyyah mengatakan : 

الأصل في العقود والمعاملات الصّحّة حتّى يقوم دليل على البطلان والتحريم

“Asal dari satu akad dan mu’amalah adalah diperbolehkan hingga tegak dalil yang menunjukkan kebathilan dan keharamannya”.[1]

Seseorang boleh melakukan inovasi apapun dalam dengan syarat : tidak ada nash syari’at yang melarangnya. Oleh karena itu, tulisan akan mengulas secara singkat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi mereka yang ingin atau telah terjun dalam usaha pangkas rambut (terutama hal-hal yang dimakruhkan dan diharamkan). Beberapa hal tersebut antara lain :
  1. Tidak boleh seorang laki-laki memangkas rambut wanita ajnabiyyah.
    Rambut termasuk aurat bagi wanita yang seorang laki-laki diharamkan untuk memandangnya, apalagi menyentuhnya.[2]


    Allah ta’ala berfirman :
    قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

    Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” [QS. An-Nuur : 30-31].

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

    ”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya” [HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657].
  2. Tidak boleh memangkas rambut dengan model-model rambut khas orang kafir (baik dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan yang lainnya) atau orang fasiq.

    Misalnya model rambut sirip ikan (punk), model menggaris-garis kepala, dan yang lainnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :
    من تشبه بقوم فهو منهم

    ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” [HR. Ahmad 2/50,92; ’Abdun bin Humaid dalam Al-Muntakhab – tahqiq Al-’Adawiy no. 846; Ibnu Abi Syaibah 7/150/1; dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil 5/109-111 no. 1269].

    ليس منا من تشبه بغيرنا لا تشبهوا باليهود ولا بالنصارى

    ”Tidaklah termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain dari kami. Janganlah kalian menyerupai orang-prang Yahudi dan Nashrani” [HR. At-Tirmidzi no. 2695, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 7376, dan Ibnul-Jauzi dalam Al-’Ilal no. 1201; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/77 dan Silsilah Ash-Shahihah no. 2194].
  3. Tidak boleh memangkas rambut dengan model menyerupai kaum wanita.

    Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :

    لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال

    ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yangmenyerupai laki-laki” [HR. Al-Bukhari no. 5885].

    Larangan ini merupakan larangan mutlak yang mencakup seluruh model yang merupakan ciri khas kaum wanita.
  4. Tidak boleh mencukur model qaza’.

    Dari ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma (ia berkata) :

    أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن القزع

    ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melarang qaza’ [HR. Al-Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120].

    Dalam riwayat Ahmad disebutkan :

    أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى صبيا قد حلق بعض شعره وترك بعضه فنهى عن ذلك وقال احلقوا كله أو اتركوا كله

    Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam melihat seorang anak-anak yang dicukur sebagian rambutnya dan dibiarkan sebagian yang lainnya. Maka beliau melarangnya dengan bersabda : “Cukurlah seluruhnya atau biarkan seluruhnya” [HR. Ahmad 2/88; shahih – lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1123].

    Para ulama berbeda pendapat tentang makna qaza’. Namun dengan melihat seluruh penjelasan yang ada, maka larangan qaza’ ini ada empat macam :

    - Mencukur rambut kepala pada bagian-bagian tertentu secara acak.
    - Mencukur bagian tengah kepala dan membiarkan kedua belah sisinya.
    - Mencukur kedua belah sisi kepala dan membiarkan bagian tengahnya.
    - Mencukur bagian depan dan membiarkan bagian belakang.

    Masuk dalam larangan ini adalah sebagian model rambut cepak ABRI dimana rambut seseorang dicukur habis (sisi samping dan belakang), namun menyisakan sedikit rambut di bagian atas.
  5. Makruh mencukur rambut laki-laki dalam keadaan masih panjang melebihi pundak. 

    عن وائل بن حجر قال : أتيت النبي صلى الله عليه وسلم ولي شعر طويل فلما رآني رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ذباب ذباب قال فرجعت فجززته ثم أتيته من الغد فقال إني لم أعنك وهذا أحسن

    Dari Waail bin Hujr ia berkata : ”Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang pada saat itu rambutku masih panjang. Ketika beliau melihatku, maka beliau bersabda : ”dzubaabun dzubaabun”. Maka akupun pulang dan menggunting rambutku. Maka keesokan harinya aku kembali mendatangi beliau, kemudian beliau bersabda : ”Sesungguhnya aku bukan bermaksud (menjelak-jelekkan) dirimu, akan tetapi (penampilanmu) ini lebih baik” [HR. Abu Dawud no. 4190; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/542].

    نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره فبلغ ذلك خريما فجعل يأخذ شفرة يقطع بها شعره إلى إنصاف أذنيه ورفع إزاره إلى إنصاف ساقيه

    “Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya”. Maka perkataan beliau ini disampaikan kepada Khuraim, maka ia segera memendekkan rambutnya hingga pertengahan telinga, dan mengangkat kain sarungnya hingga pertengahan betis [HR. Ahmad 4/179 dan Abu Dawud 4089; dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya terhadap Musnad Ahmad].

    Panjang rambut jika sampai pada pundak disebut jummah. Jika panjangnya antara telinga dan pundak disebut lummah. Dan apabila rambut sejajar dengan telinga disebut wafrah. Adapun panjang rambut Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam antara jummah dan wafrah, sebagaimana tertera dalam hadits shahih.
  6. Makruh hukumnya mencukur bulu tengkuk.

    Sebagian salaf membenci perbuatan ini. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menukil riwayat sebagai berikut :

    وقال المروزي : سألت أبا عبد الله - يعني أحمد بن حنبل - عن حلق القفا ؟ فقال : هو من فعل المجوس، ومن تشبه بقوم فهو منهم.....وذكر الخلال عن المعتمر بن سليمان التميمي قال : كان أبي إذا جز شعره لم يلحق قفاه، قيل له : لم ؟ قال : كان يكره أن يتشبه بالعجم

    ”Berkata Al-Marwazi : ’Aku bertanya kepada Abu ’Abdillah – yaitu Ahmad bin Hanbal – tentang mencukur bulu tengkuk ?’. Maka beliau menjawab : ’Itu merupakan perbuatan orang-orang Majusi. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya’....
    Al-Khalaal juga menyebutkan dari Al-Mu’tamir bin Sulaiman dimana ia berkata : ’Biasanya ayahku apabila memangkas rambutnya, ia tidak mencukur tengkuknya’. Ada yang bertanya kepadanya : ’Mengapa ?’. Ia menjawab bahwa ia membencinya karena menyerupai perbuatan orang-orang ’Ajam’ [lihat Jilbab Mar’atil-Muslimah oleh Al-Albani hal. 187; Darus-Salam, Cet. Tahun 2002].
  7. Tidak boleh memberikan jasa tambahan untuk memangkas jenggot.
    Haram hukumnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

    أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى

    ”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].

    Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya. Sebagian ulama memandang bahwa tidak boleh mencukur atau memangkas jenggot sama sekali, dan bahkan membiarkannya. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dalam satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan beberapa ulama yang lainnya. Namun sebagian ulama lain membolehkan mencukur jenggot yang telah lebih dari satu genggaman tangan dengan dasar :

    عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب وكان بن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته فما فضل أخذه

    Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Al-Bukhari no. 5892].

    Ini merupakan pendapat mayoritas tabi’in, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah, sebagian Hanabillah, dan yang lainnya.

    Adapun memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan, maka haram hukumnya. Dan para ulama telah sepakat (ijma’) tentang haramnya memangkas habis jenggot sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm :
    واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز

    ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].[3]

    Termasuk larangan ini adalah mencukur semua rambut yang tumbuh di depan telinga dan pipi.[4]
     
  8. Tidak boleh memberikan jasa tambahan untuk menyemir rambut dengan warna hitam.
    Larangan ini didasarkan pada dhahir perkataan beliau kepada Abu Quhafah – ayah Abu Bakr Ash-Shiidiq – ketika beliau melihat rambut dan jenggotnya yang telah memutih semua :

    غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد

    ”Ubahlah ini dengan sesuatu (dengan pewarna rambut), dan jauhilah warna hitam” [HR. Muslim no. 2102].[5]
     
  9. Tidak boleh ’iseng’ mencabut uban orang yang dipangkas rambutnya.

    Diriwayatkan dari ’Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : 

    لا تنتفوا الشيب ما من مسلم يشيب شيبة في الإسلام إلا كانت له نورا يوم القيامة

    ”Jangan kalian mencabut uban ! Tidak ada seorang muslim yang mempunyai uban di dalam Islam kecuali uban tersebut akan menjadi cahaya di hari kiamat kelak” [HR. Abu Dawud no. 4202, At-Tirmidzi no. 2821, dan yang lainnya; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/543].

    Dalam riwayat lain disebutkan : 
    إلا كتب الله له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة

    ”Kecuali dengannya Allah akan menuliskan satu kebaikan dan menghapus satu kejelekan”.
     
  10. Tidak boleh sembarangan membuang sampah rambut di sembarang tempat.

    Sebagian salaf menganjurkan agar potongan rambut dipendam di dalam tanah. Hal itu ditujukan untuk menghindari pemanfaatan potongan rambut tersebut untuk tujuan jahat, seperti sihir dan sejenisnya.[6]
     
  11. Tidak boleh menyediakan bacaan atau media-media lainnya yang mengandung kemaksiatan bagi para pelanggan.

    Seringkali pemilik usaha menyediakan koran-koran atau majalah-majalah yang tidak bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi pelanggan yang sedang menunggu/mengantri giliran. Padahal dalam koran atau majalah tersebut banyak termuat kata-kata tidak senonoh, gosip/ghibah, celaan, gambar-gambar wanita yang membuka aurat, dan yang lainnya. Allah ta’ala telah berfirman : 

    وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

    ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” [QS. Al-Maaidah : 2].

    Menyediakan berbagai sarana maksiat sebagaimana di atas termasuk saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran/kemaksiatan.

    Selain itu, sering juga kita temui beberapa tempat pangkas rambut – terutama pangkas rambut Madura – yang memutar alunan musik (dangdut ?). Ini juga diharamkan. Allah ta’ala telah berfirman : 

    وَمِنَ النّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلّ عَن سَبِيلِ اللّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مّهِينٌ

    ”Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [QS. Luqman : 6].

    Kata ’lahwal-hadiits’ yang dicela dalam ayat di atas maksudnya adalah nyanyian.[7]

    Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda : 

    ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف ولينزلن أقوام إلى جنب علم يروح عليه بسارحة لهم يأتيهم يعني الفقير لحاجة فيقولوا ارجع إلينا غدا فيبيتهم الله ويضع العلم ويمسخ آخرين قردة وخنازير إلى يوم القيامة

    “Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif). Dan sungguh beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata : “Kembalilah besok”. Pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat].[8]
     
  12. Tidak boleh memasang gambar makhluk bernyawa sebagai peraga model rambut.

    Tidak perlu seseorang memasang gambar-gambar model di ruang pangkas rambutnya. Semua gambar makhluk bernyawa yang menampakkan kepalanya adalah diharamkan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah menegur keras ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa ketika ia menyediakan bantal bergambar (makhluk hidup) : 

    أما علمت أن الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة ؟ وأن من صنع الصورة يعذب يوم القيامة فيقول : أحيوا ما خلقتم !

    ”Tidakkah engkau tahu bahwa para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa) ? Dan siapa saja yang membuat gambar niscaya ia akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepadanya : ’Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan itu!” [HR. Al-Bukhari 3224 dan Muslim no. 2107].

    Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam juga bersabda : 

    كل مصور في النار، يجعل له بكل صورة صورها نفسا فتعذبه في جهنم

    ”Setiap tukang gambar (makhluk yang bernyawa) tempatnya di neraka. Akan diberikan jiwa kepada semua gambar yang telah dibuatnya lalu gambar-gambar itu mengadzabnya dalam neraka Jahannam” [HR. Al-Bukhari no. 2225 dan Muslim no. 2110].[9]
Nah, itulah rambu-rambu ringkas bagi ikhwah yang terjun pada usaha pengkas rambut. Kok banyak sekali ya larangannya ? Apa iya kalau kita benar-benar komitmen dengan aturan di atas jasa pelayanan yang kita tawarkan akan ada peminatnya ? Sebagai seorang muslim tentu saja tidak mengambil prinsip menghalalkan segala cara sekedar mendapatkan beberapa receh rupiah. Allah telah berfirman : 

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Mukminun : 51].

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pun telah memperingatkan : 

لا تستبطئوا الرزق، فإنه لن تموت العبد حتى يبلغه أخر رزق هو له، فأجملوا في الطلب، أخذ الحلال وترك الحرام

”Janganlah kalian menganggap rezeki kalian itu lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram” [HR. Ibnu Hibban no. 3239, 3241; Al-Hakim 2/4; Al-Baihaqi 5/264-265; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/156-157; dan Ibnu Majah no. 2144; shahih].

Terus optimis dan pantang menyerah dalam mencari rizki yang halal.......................

Semoga ada manfaatnya.



Abul-Jauzaa’ – selesai ditulis pada hari Senin/01-12-2008, pukul 19.42 WIB.
Catatan kaki :
[1] Al-Qawaaidul-Fiqhiyyah Al-Mustakhrajah min Kitaabi I’laamil-Muwaqqi’iin oleh ‘Abdul-Majid Al-Jazaairiy (taqdim : Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid), hal. 546-556; Daar Ibnil-Qayyim, Cet. 1/1421.[2] An-Nawawi mengatakan : “Dan kawan-kawan kami (dari para ulama madzhab SYafi’iyyah) telah mengatakan : Setiap yang diharamkan untuk melihatnya, maka diharamkan pula untuk menyentuhnya, (dan) menyentuh itu lebih dahsyat daripada sekedar memandang” [Al-Adzkar hal. 228].[3] Hal yang sama dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.[4] Hal itu dikarenakan rambut-rambut yang tumbuh di daerah tersebut masih masuk dalam definisi jenggot (al-lihyah). Jenggot dalam bahasa Arab disebut Al-Lihyah (اَللِّحْيَةُ). Al-Fairuz Abadi berkata tentang definisi dari Al-Lihyah : {شعْرُ الخدَّيْن و الذَّقنِ} ”rambut (yang tumbuh) di kedua pipi dan dagu” [Al-Qamus Al-Muhith 4/387]. Hal yang sama dinukil dari Ibnu Mandhur dalam Lisaanul-’Arab : { اسم يجمع من الشعر ما نبت على الخدّين والذقَن } ”nama bagi semua rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu”.[5] Beberapa ulama’ mengatakan bahwa dhahir perintah dalam hadits di atas adalah sunnah (mustahab), karena dinukil dari beberapa shahabat tidak melakukannya, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, dan Anas. Namun perlu diperhatikan bahwa bagi orang yang menyemir rambut agar dijauhi warna hitam sebagaimana telah shahih dalam riwayat Muslim di atas.

Hadits di atas menyatakan pelarangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyemir rambut dengan warna hitam. Al-Hafidh Ibnu Hajar menukil pembolehan dari sebagian ulama untuk menyemir rambut dengan warna hitam dalam keadaan tertentu, dimana beliau berkata,”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan Al-Imam An-Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat kepada haram. Sebagian ulama’ salaf memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) misalnya Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Uqbah bin Amir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya. Inilah yang dipilih Ibnu Abi ‘Ashim. Mereka membolehkan untuk wanita dan tidak untuk pria, inilah yang dipilih oleh Al-Hulaimi. Ibnu Abi ‘Ashim memahami dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‘Jauhi warna hitam’, karena menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka” [Fathul-Baari 10/354-355].

Telah ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain menyemir rambutnya dengan warna hitam [Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Jaami’ At-Tirmidzi 5/442, Kairo, Al-Madani, tanpa tahun; oleh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri].

Ibnul-Qayyim berkata,”Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila (yang digunakan) adalah warna hitam pekat (murni). Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katam dengan hina’, maka tidak mengapa, karena akan membuat rambut menjadi merah kehitam-hitaman”.

Pendapat yang terpilih, hati-hati, dan selamat; hukum menyemir rambut dengan warna hitam minimal adalah makruh. Dan selayaknya itulah yang dipegang oleh setiap muslim untuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam.
[6] Dalam hadits shahih (Shahih Al-Bukhari no. 5763 dan Shahih Muslim no. 2189) telah disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam disihir oleh Labid bin Al-A’sham, maka sarana yang dipergunakan adalah beberapa helai rambut beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diletakkan di kulit serbuk sari kurma jantan yang kemudian dikubur di sumur Dzarwaan. Rambut tersebut diperoleh dari seorang wanita yang pernah pergi ke tempat beliau.[7] Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.
حدثنا حفص بن عمر قال أخبرنا خالد بن عبد الله قال أخبرنا عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن بن عباس ومن الناس من يشتري لهو الحديث قال الغناء وأشباهه
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘UMar, ia berkata : Telah mengkhabarakan kepada kami Khalid bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; beliau berkata : “Al-Ghinaa’ (nyanyian) dan yang menyerupainya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 786 dan 1265; shahih].

Penafsiran yang sama juga didapatkan dari perkataan Ibnu Mas’ud, Mujahid, ‘Ikrimah, Jabir, Sa’id bin Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.
[8] Ada sebagian orang yang melemahkan hadits ini. Pendapat ini merupakan pendapat yang sangat lemah dan tidak perlu untuk diperhatikan karena sangat jauh dari kebenaran.[9] Para ulama berbeda pendapat tentang masalah foto, apakah ia termasuk dalam larangan dalam hadits-hadits di atas ? Kami mengambil pendapat bahwa foto tidak termasuk hal yang diancam dalam hadits-hadits tersebut. Ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh sebagian ulama kontemporer seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan yang lainnya. Namun, bukan berarti kami menyepakati penggunaan foto secara ’bebas’ tanpa ada keperluan sebagaimana banyak dilakukan oleh kebanyakan orang. Apalagi hanya karena alasan pemampangan model rambut dari para peragawan untuk melariskan dagangan (yang notabene kebanyakan mereka adalah dari kalangan orang-orang fasiq dan orang-orang kafir). Kami pun tetap berpandangan bahwa tidak boleh memajang foto-foto makhluk hidup di dinding sebagai satu langkah kehati-hatian dalam menyikapi perbedaan pendapat ini. Wallaahu a’lam.

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/12/sebagian-fiqh-bagi-usahawan-pangkas.html