Senin, 27 Oktober 2014

Tawakal.

Kata tawakal memiliki asal makna i’timad atau bersandar. Sehingga apabila dikatakan : “Tawakkaltu ‘alallaahi tawakkulan” artinya “i’tamadtu ‘alaihi” (aku bersandar kepadanya).

Hakikat tawakal adalah apabila seorang hamba menyandarkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sepenuh hati dalam berbagai kemaslahatan agama dan dunianya dengan disertai melakukan sebab-sebab yang mengantarkan kepada tujuan selama cara itu diperbolehkan oleh syari’at. Dengan demikian tawakal itu meliputi keyakinan hati, penyandaran diri serta melakukan amal perbuatan. 

Yang dimaksud dengan i’tiqad di sini adalah meyakini bahwa segala urusan ada di tangan Allah. Segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan segala yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Allah semata pemberi manfaat, madharat, pemberi karunia dan yang berhak mencegah pemberiannya. Setelah dia meyakini hal itu maka hendaknya dia menyandarkan hatinya kepada Allah Rabbnya subhanahu wa ta’ala serta mempercayakan urusan sepenuhnya kepada-Nya. Kemudian setelah itu dia melaksanakan bagian yang ketiga yaitu melakukan cara-cara yang diperbolehkan agama (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 83-84) 

Perintah untuk bertawakal
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan bertawakallah hanya kepada Allah jika engkau beriman” (QS. al-Maa’idah : 23).

Tawakal adalah bersandar kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menolak hal-hal yang tidak disukai dengan dilandasi rasa percaya sepenuhnya kepada Allah, serta dengan menempuh cara-cara yang diperbolehkan oleh syari’at dalam rangka mewujudkannya. 

Rukun tawakal 
Untuk bisa mewujudkannya diperlukan dua hal, yaitu :
  1. Bersandar kepada Allah dengan sungguh-sungguh
  2. Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk mewujudkan keinginannya
Barangsiapa yang terlalu bersandar kepada cara/sarana yang ditempuh maka tawakalnya kepada Allah semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak langsung mencela kekuasaan Allah untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu tatkala seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi inti keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai hilang.

Barangsiapa yang membuat tawakalnya kepada Allah menyebabkan dirinya melalaikan cara/usaha maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Allah. Karena Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang semata-mata bersandar kepada Allah tanpa mau menjalani sebab maka tindakan tersebut merupakan bentuk celaan terhadap hikmah yang Allah tetapkan. Padahal Allah itu Maha bijaksana (Hakiim) yang mempertautkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada Allah demi mendapatkan anak tapi tidak mau menikah. 

Kaidah Sebab-Akibat
Allah telah menciptakan hukum sebab akibat yang berlaku di alam semesta ini dengan amat sempurna. Apabila seseorang lapar maka hendaknya dia makan supaya kenyang. Apabila seseorang ingin berharta maka hendaknya dia bekerja. Apabila seseorang ingin memiliki anak maka hendaknya dia menikah. Demikianlah diantara hukum-hukum sebab akibat yang sama-sama sudah kita mengerti.

Dalam perkara lain pun berlaku hal itu, maka tidak boleh kita menempuh sebab-sebab sebagai jalan keluar dari masalah kecuali apabila memenuhi tiga syarat berikut ini :
  1. Hanya mencari sebab yang diizinkan oleh agama, tidak boleh memakai sebab yang haram dan tidak masuk akal.
  2. Hanya menggantungkan hati kepada Allah
  3. Meyakini bahwa berhasil atau tidaknya hanya Allah yang menentukan
(lihat al-Qaul as-Sadid karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 34-35) 

Nabi teladan dalam bertawakal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling hebat tawakalnya. Meskipun demikian beliau juga tetap menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan apabila hendak bepergian. Begitu pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud beliau mengenakan dua lapis baju perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Demikian juga ketika berangkat untuk berhijrah beliau juga memilih orang sebagai penunjuk jalan (HR. Bukhari) dan beliau tidaklah mengucapkan, “Saya mau berangkat berhijrah dan akan bersandar kepada Allah, tanpa mencari teman untuk menunjukkan jalan bersamaku”. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melindungi tubuhnya dari sengatan panas dan dinginnya cuaca. Dan tidaklah itu semua mengurangi tawakal yang ada pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Tawakal palsu
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa di masa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah ada sekelompok orang Yaman yang berangkat haji tanpa membawa perbekalan. Maka mereka pun dipanggil untuk menghadap ‘Umar. Kemudian ‘Umar menanyai mereka. Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah”. ‘Umar menimpali, “Kalian bukan termasuk orang yang bertawakal. Tetapi kalian adalah orang yang pura-pura bertawakal”. 

Tawakal separuh agama
Tawakal merupakan setengah dari agama Islam. Oleh sebab itulah kita senantiasa mengucapkan do’a di dalam shalat kita, ”Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Hanya kepada Engkau lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada Allah karena kita bersandar kepada-Nya, karena kita yakin hanya Dia lah yang mampu membantu kita dalam upaya beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala juga memerintahkan (yang artinya), “Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Huud : 123). Allah juga membawakan perkataan salah seorang Nabi-Nya, “Hanya kepada-Nya lah aku bertawakal dan kembali taat” (QS. Huud : 88). Dan tidak mungkin ibadah terwujud tanpa adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan kepada sifat lemah dan ketidakmampuan. Sehingga pada akhirnya dia tidak akan bisa tegar dalam melaksanakan ibadah. 

Dua macam tawakal kepada Allah
Tawakal kepada Allah ada dua macam :
1. Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih kepentingan pribadi hamba berupa rezki, kesehatan dan lain sebagainya
2. Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih keridhaan-Nya

Tawakal jenis yang pertama memiliki tujuan yang baik meskipun bukan dinilai ibadah karena ia murni terkait dengan kepentingan pribadi (duniawi) seorang hamba. Maka bertawakal kepada Allah untuk meraih tujuan itu dinilai sebagai ibadah dan hal itu merupakan sumber berkembangnya kemaslahatan agama dan dunianya.

Adapun jenis yang kedua maka tujuan yang hendak digapai adalah ibadah maka tidak ada cela sedikitpun padanya karena ia merupakan permintaan tolong kepada Allah untuk menggapai sesuatu yang diridhai-Nya. Oleh sebab itu pelaku tawakal jenis kedua ini adalah orang yang benar-benar merealisasikan makna Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 84) 

Minimnya tawakal di dalam hati
Apabila seorang hamba beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan sedang bersandar dan bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas ibadahnya tersebut dan pahala atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak menimpa kita adalah terlalu lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau menjalani kebiasaan kita tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada Allah sehingga perbuatan kita itu bisa terlaksana.

Bahkan sebagian besar dari kita biasanya terlalu mengandalkan cara/sebab lahiriyah, dan lupa terhadap apa yang ada dibalik itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat besar dari kita, yaitu pahala bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita tidak mendapatkan taufik untuk bisa meraih keinginan dan menghindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan. Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang yang membuat keinginan kita itu tidak terwujud sama sekali atau berkurang nilainya. Maka kitapun lupa untuk kembali menyandarkannya kepada Allah ta’ala. 

Macam-macam tawakal
Tawakal itu ada tiga macam : Tawakal ibadah dan ketundukan, Bergantung kepada orang dalam hal rezeki dan urusan keduniaan lainnya, Menyerahkan urusan kepada seseorang yang dia percayai. 

[1] Tawakal ibadah dan ketundukan
Yaitu bergantung sepenuhnya kepada sesuatu yang disandari. Sehingga di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwasanya di tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak madharat. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan sepenuh hati. Maka tawakal yang seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan kepada Allah ta’ala. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dengan kategori syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang bergantung kepada orang-orang shalih yang sudah mati atau yang tidak hadir (tidak bisa berkomunikasi dengannya).

Hal semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki kemampuan tersembunyi untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di alam semesta, sehingga adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan bersandar kepada mereka (orang-orang shalih atau wali) demi mencapai manfaat dan menolak bahaya. Kesimpulannya tawakal jenis pertama ini syirik akbar jika ditujukan kepada selain Allah. 

[2] Bergantung kepada orang lain dalam urusan duniawi
Yang semacam ini tergolong perbuatan syirik ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ia termasuk jenis syirik khafi (syirik yang samar-samar). Seperti contohnya kebanyakan orang yang terlalu menyandarkan hatinya terhadap mata pencaharian yang digelutinya dalam rangka mendapatkan rezki. Sehingga anda akan bisa menemukan keadaan orang semacam ini merasa bahwasanya dirinya sangat bersandar dan begitu membutuhkan bos, direktur, majikan atau juragan yang mempekerjakannya dan dia meyakini bahwasanya mereka itu bukan sekedar sebagai sebab datangnya rezki saja, akan tetapi lebih dari itu. Kesimpulannya tawakal jenis kedua ini adalah syirik ashghar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat jenisnya daripada dosa maksiat. 

[3] Menyerahkan urusan kepada orang lain
Seperti meminta orang lain untuk membelikan suatu barang, maka yang seperti ini tidak mengapa. Karena pada hakikatnya dia hanya sekedar menyerahkan urusan kepada orang lain dalam keadaan dia berada di posisi yang lebih tinggi dari orang yang dimintai tolong, sehingga ia pun menjadikan orang lain itu sebagai wakil darinya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu untuk menyembelih sisa hewan kurban beliau (HR. Muslim), begitu pula ketika beliau mewakilkan pengurusan shadaqah/zakat kepada Abu Hurairah (HR. Bukhari secara mu’allaq) dan contoh yang lainnya. Sehingga kesimpulannya tawakal semacam ini yang disebut juga dengan taukil (tindakan mewakilkan) adalah perbuatan yang boleh-boleh saja dilakukan.

Di dalam ayat terdahulu (QS. al-Maa’idah : 23) Allah mewajibkan kita untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan jenis yang kedua. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Allah berfirman yang artinya, “..bertawakallah kepada Allah jika kalian benar-benar beriman.” 

Bahaya bergantung kepada selain Allah
Dengan demikian orang yang bertawakal kepada selain Allah maka dia berada dalam salah satu di antara dua keadaan [baca: keburukan] :
Keadaan Pertama : Kehilangan kesempurnaan iman yang hukumnya wajib ada, karena ia terjerumus dalam syirik ashghar.
Keadaan Kedua : Kehilangan seluruh keimanan, karena ia terjerumus dalam syirik akbar.
Wallahul musta’aan.
________
(Disadur dari al-Qaul al-Mufid, 2/28-30 dengan sedikit perubahan dan penambahan) 

Tawakal yang Sebenarnya
Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”

Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut. 

Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan,
“Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.” 

Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan,“Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam) 

Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)

Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah) 

Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.

Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.

Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.

Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.

Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29) 

Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah.

Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya),“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).

Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).

Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/tawakal.html