Oleh:Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
ASAL USUL BUDAYA
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah.
Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai
hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau
bertani. Kata culture, juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia.
Dalam Islam, istilah ini disebut dengan
adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika
dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah l melalui
wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjadikan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai teladan
terbaik dalam hal etika dan adab ini.
Sebelum kedatangan
Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu
ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh
Islam, misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang,
dan lain sebagainya.
Dinul-Islam sangat menitik beratkan
pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang universal,
menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang
membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia
modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
"Katakanlah:
"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami
dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan
anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi
dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri". Barang siapa
mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi" [‘Ali ‘Imran/3:84-85]
PENETRASI BUDAYA
Proses
penetrasi budaya merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari. Karena
kehidupan manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi
sosial di antara manusia menyebabkan terjadinya proses penetrasi budaya
ini. Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan, ialah masuknya
pengaruh suatu kebudayaan ke dalam kebudayaan lainnya.
Penetrasi budaya dapat terjadi dengan dua cara.
1. Penetrasi Damai (Penetration Pasifique).
Yaitu
masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya
pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia. Penerimaan kedua macam
kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya
khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan inipun
tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau sintesis.
Akulturasi,
ialah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru
tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan
Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli
Indonesia dengan India.
Asimilasi, adalah bercampurnya dua
kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis,
yaitu bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya
sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Dan
sesudah tersebarnya agama Islam di Nusantara, pengaruh-pengaruh
kebudayaan yang telah berasimilasi itu masih tersisa dan dipertahankan
oleh sebagian orang. Oleh karena itu, kita melihat unsur-unsur budaya
India ini pada sebagian ritual keagamaan yang dilakukan oleh sebagian
orang Islam, misalnya dalam upacara-upacara selamatan, seperti halnya
upah-upah di Mandailing, peusijeuk di Aceh, dan tepung tawar di Melayu,
serta upacara-upacara perkawinan dan kematian.
2. Penetrasi Kekerasan (Penetration Violante).
Yaitu
masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Sebagai
contoh, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan
disertai dengan kekerasan, sehingga menimbulkan goncangan-goncangan
yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Kebudayaan
Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang
telah ada sebelum terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945.
Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari berbagai budaya suku-suku di
Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan
Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan
dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya, seperti kebudayaan Tionghoa
dan kebudayaan India. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran
agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk.
Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat
mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi, ditandai dengan berdirinya
kerajaan tertua di Nusantara, yakni kerajaan Kutai, sampai pada
penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk
dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang
intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya).
Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa
yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara.
Mereka menetap dan menikah dengan penduduk local, hingga akhirnya
menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik.
Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar
daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia, semisal kebudayaan Jawa
dan Betawi.
Adapun adab-adab Islam masuk ke Indonesia
seiring dengan perkembangannya di Nusantara, yang dibawa oleh dai-dai
dari Timur Tengah dan Asia Selatan.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN MANUSIA
'Aisyah
Radhiyalahu 'anha menceritakan: "Sesungguhnya pernikahan pada masa
jahiliyah ada empat macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau anak
gadis kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian
menikahinya".
Jenis pernikahan lainnya, seorang lelaki
berkata kepada istrinya apabila telah suci dari haidhnya, “pergilah
menemui si Fulan lalu ambillah benih darinya,” kemudian suaminya
menjauhi dan tidak menyentuhnya lagi hingga jelas kehamilannya dari
benih si fulan tadi. Jika ternyata hamil, maka si suami boleh
menyetubuhinya bila ia mau. Ia melakukan itu untuk mendapatkan anak.
Pernikahan jenis ini disebut nikah istibdhâ`.
Pernikahan
jenis lain, yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang berjumlah
sekitar sepuluh orang. Mereka semua menyetubuhi seorang wanita. Apabila
wanita itu hamil atau mengandung, dan telah lewat beberapa hari
setelah melahirkan kandungannya, maka iapun mengirim bayinya kepada
salah seorang dari laki-laki itu. Maka mereka pun tidak bisa mengelak.
Kemudian mereka semua berkumpul dengan wanita itu, lalu si wanita
berkata kepada mereka: “Tentunya kalian telah mengetahui urusan kalian.
Aku telah melahirkan seorang anak, dan anak ini adalah anakmu hai
Fulan”. Si wanita menyebutkan nama salah seorang dari mereka yang ia
sukai, dan anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa bisa
menolaknya lagi.
Pernikahan jenis lain, yaitu sejumlah
lelaki menyetubuhi seorang wanita tanpa menolak siapapun lelaki yang
datang kepadanya. Dia ini ialah perempuan pelacur. Mereka menancapkan
bendera pada pintu-pintu rumah sebagai tanda. Siapa saja lelaki yang
ingin menyetubuhinya, ia bebas mendatanginya. Jika perempuan ini hamil
dan melahirkan anak, maka para lelaki itupun dikumpulkan. Lalu
dipanggilah qâfah [1] kemudian anak tersebut dinisbatkan kepada salah
seorang dari mereka yang telah ditunjuk oleh qâfah tersebut. Maka anak
itupun dinisbatkan kepadanya tanpa bisa menolaknya.
Ketika
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus menjadi rasul
dengan membawa kebenaran, dihapuslah seluruh jenis pernikahan jahiliyah
kecuali penikahan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang ini.[2]
Dari
riwayat ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan beberapa
adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan
adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menghapus seluruh adat dan budaya
masyarakat Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang budaya-budaya yang mengandung
unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan
budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi,
selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
silakan melakukannya. Namun jika bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau budaya
itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan
atau penyembahan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan selain Allah, maka
budaya seperti itu hukumnya haram.
BEBERAPA CONTOH KEBUDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA
A. Budaya Tumpeng.
Tumpeng
adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut.
Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang dipakai,
umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih
biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat
Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau
perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat
Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di
atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara
yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”.
Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi “tumpengan” pada malam
sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang
menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang
yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan
untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut.
1.
Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman
dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan
berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam,
terasi, bawang merah dan cabai.
2. Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng
ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari
nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga
dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas
tampah yang dialasi daun pisang.
3. Tumpeng Pungkur. Digunakan
pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat
dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini
kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
4. Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
5.
Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti
kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
6. Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
Dari
situ dapat kita ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka acara-acara
atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Namun
kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara
dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.
B. Peusijeuk, upah-upah (manyonggot), tepung tawar dan selamatan.
Adat
istiadat ini biasa diadakan apabila seseorang memiliki hajatan atau
hendak pergi jauh untuk menghilangkan kesialan. Di daerah Aceh, acara
ini disebut peusijeuk. Di pesisir Melayu disebut tepung tawar, dan di
Jawa dikenal dengan sebutan selamatan. Di daerah Tapanuli Utara dan
Asahan dikenal dengan sebutan upah-upah atau manyonggot.
Tepung
tawar biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang
ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak
kesialan. Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar spiritualnya
(roh) kembali ke jasadnya. Yaitu dengan memasak ayam kemudian
diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang yang akan diupah-upahi,
kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya ialah
mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Acara-acara
seperti tersebut di atas, tidak lepas dari unsur-unsur kepercayaan
animisme, dan konon asal-usulnya berasal dari ritual-ritual nenek
moyang.
C. Sungkeman.
Biasanya, kebiasaan ini
berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan
pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali
bertemu. Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang
dianggap sepuh (Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur
sujud dan rukuk kepada selain Allah, yang tentunya dilarang dalam
Islam.
D. Beberapa adat-istiadat dalam upacara perkawinan
adat Jawa yang bertentangan dengan syariat Islam, karena mengandung
unsur syirik atau maksiat atau lainnya.
1. Tarub atau
janur kuning. Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah
pengantin perempuan akan dihiasi tarub atau janur kuning yang terdiri
dari bermacam tumbuhan dan daun-daunan, dua pohon pisang dengan
setandan pisang masak pada masing-masing pohon, melambangkan suami yang
akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup
baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang
mudah tumbuh di manapun).
Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.
Cengkir
Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan
saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.
Berbagai
macam daun seperti daun beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap serep,
sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka
terlindung dari mara bahaya. Selain itu di atas gerbang rumah juga
dipasang belketepe, yaitu hiasan dari daun kelapa untuk mengusir
roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang
berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum tarub dan janur
kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan sesajian biasanya
dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri
dari pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti,
bunga, bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya. Arti
simbolis dari sesajian ini ialah agar diberkati leluhur dan dilindungi
dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana
upacara pernikahan akan dilangsungkan, seperti kamar mandi, dapur,
pintu gerbang, di bawah tarub, di jalanan di dekat rumah, dan
sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar Mayang yang
akan digunakan dalam upacara panggih.
2. Upacara Siraman.
Acara yang dilakukan pada siang hari sebelum ijab atau upacara
pernikahan ini, bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman
biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan
dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka.
Ada tujuh
Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh) -biasanya tujuh orang
yang dianggap baik atau penting- yang membantu acara ini. Airnya
merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari,
yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan
kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan
membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan
menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.
3. Pecah
Kendi. Yaitu ibu pengantin perempuan atau Pameas (untuk siraman
pengantin pria) atau orang yang terakhir akan memecahkan kendi dan
mengatakan "wis pecah pamore", artinya sekarang sang pengantin siap
untuk menikah.
4. Pangkas Rikmo lan Tanam Rikmo. Acara
memotong sedikit rambut pengantin perempuan dan potongan rambut
tersebut ditanam di rumah belakang.
5. Ngerik, Yaitu
pengantin perempuan duduk di dalam kamarnya. Pameas lalu mengeringkan
rambutnya dan memberi pewangi di rambutnya. Rambutnya lalu disisir dan
digelung atau dibentuk konde. Setelah Pameas mengeringkan wajah dan
leher sang pengantin, lalu ia mulai mendandani wajah sang pengantin.
Lalu sang pengantin akan dipakaikan baju kebaya dan kain batik.
Sesajian untuk upacara Ngerik pada dasarnya sama untuk acara siraman.
Biasanya supaya lebih mudah sesajian untuk siraman digunakan /
dimasukkan ke kamar pengantin dan dipakai untuk sesajian upacara
Ngerik.
6. Gendhongan. Kedua orangtua pengantin perempuan
menggendong anak mereka yang melambangkan ngentaske, artinya
mengentaskan seorang anak.
7. Dodol Dhawet. Kedua orangtua
pengantin wanita berjualan minuman dawet, yaitu minuman manis khas
Solo, tujuannya agar banyak tamu yang datang.
8. Temu Panggih. Penyerahan pisang sanggan berupa gedung ayu suruh ayu sebagai tebusan atau syarat untuk pengantin perempuan.
9. Penyerahan Cikal. Sebagai tanda agar kehidupan mendatang menjadi orang berguna dan tak kurang suatu apapun.
10. Penyerahan Jago Kisoh. Sebagai tanda melepaskan anak dengan penuh ikhlas.
11.
Tukar Manuk Cengkir Gading. Acara tukar menukar kembang mayang diawali
tukar menukar manuk cengkir gading, sebagai simbol agar kedua
pengantin menjadi pasangan yang berguna bagi keluarga dan masyarakat.
12.
Upacara Midodaren. Acara ini dilakukan pada malam hari sesudah
siraman. Midodaren berarti menjadikan sang pengantin perempuan secantik
dewi Widodari. Pengantin perempuan akan tinggal di kamarnya mulai dari
jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani oleh kerabat-kerabatnya
yang perempuan. Mereka akan bercakap-cakap dan memberikan nasihat
kepada pengantin perempuan.
Orang tua pengantin perempuan
akan memberinya makan untuk terakhir kalinya, karena mulai besok ia
akan menjadi tanggung jawab suaminya.
13. Peningsetan.
Peningsetan yang berasal dari kata “singset” atau langsing, memiliki
arti untuk mempersatukan. Kedua keluarga mempelai setuju untuk kedua
anak mereka disatukan dalam tali pernikahan. Keluarga pengantin pria
datang berkunjung ke kediaman keluarga pengantin perempuan membawa
berbagai macam hantaran sebagai berikut:
Satu set Suruh
Ayu (semacam daun yang wangi), mendoakan keselamatan. Pakaian batik
dengan motif yang berbeda-beda, mendoakan kebahagiaan. Kain kebaya,
mendoakan kebahagiaan. Ikat pinggang kain (setagen) bewarna putih,
melambangkan kemauan yang kuat dari mempelai perempuan. Buah-buahan,
mendoakan kesehatan. Beras, gula, garam, minyak, dll, melambangkan
kebutuhan hidup sehari-hari. Sepasang cincin untuk kedua mempelai.
Sejumlah uang untuk digunakan di acara pernikahan.
Acara
ini disebut juga acara serah-serahan. Bisa diartikan bahwa sang calon
mempelai perempuan “diserahkan” kepada keluarga calon mempelai pria
sebagai menantu mereka atau calon mempelai pria nyantri di kediaman
keluarga calon mempelai perempuan.
Pada masa kini, demi
alasan kepraktisan, kedua belah pihak kadang-kadang dapat berbicara
langsung tanpa upacara apapun. Selain menghemat waktu dan uang, juga
langsung pada pokok persoalan.
14. Nyantri. Selama acara
midodaren berlangsung, calon mempelai pria tidak boleh masuk menemui
keluarga calon mempelai perempuan. Selama keluarganya berada di dalam
rumah, ia hanya boleh duduk di depan rumah ditemani oleh beberapa teman
atau anggota keluarga. Dalam kurun waktu itu, ia hanya boleh diberi
segelas air, dan tidak diperbolehkan merokok. Sang calon mempelai pria
baru boleh makan setelah tengah malam. Hal itu merupakan pelajaran
bahwa ia harus dapat menahan lapar dan godaan. Sebelum keluarganya
meninggalkan rumah tersebut, kedua orangtuanya akan menitipkan anak
mereka kepada keluarga calon mempelai perempuan, dan malam itu sang
calon mempelai pria tidak akan pulang ke rumah. Setelah mereka keluar
dari rumah dan pulang, calon mempelai pria diijinkan masuk ke rumah
namun tidak diijinkan masuk ke kamar pengantin. Calon mertuanya akan
mengatur tempat tinggalnya malam itu. Ini disebut dengan Nyantri.
Nyantri dilakukan untuk alasan keamanan dan praktis, mengingat bahwa
besok paginya calon pengantin akan didandani dan dipersiapkan untuk
acara Ijab dan acara-acara lainnya.
15. Upacara
panggih/temu (mengawali acara resepsi). Pada upacara ini kembar mayang
dibawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah yang
tujuannya untuk mengusir roh jahat. Kembar mayang adalah karangan bunga
yang terdiri dari daun-daun pohon kelapa yang ditancapkan ke sebatang
tanggul kelapa. Dekorasi ini memiliki makna:
Berbentuk
seperti gunung, tinggi dan luas, melambangkan seorang laki-laki harus
berpengetahuan luas, berpengalaman, dan sabar. Hiasan menyerupai keris,
pasangan harus berhati-hati di dalam hidup mereka. Hiasan menyerupai
cemeti, pasangan harus selalu berpikir positif dengan harapan untuk
hidup bahagia. Hiasan menyerupai payung, pasangan harus melindungi
keluarga mereka. Hiasan menyerupai belalang, pasangan harus tangkas,
berpikir cepat dan mengambil keputusan untuk keselamatan keluarga
mereka. Hiasan menyerupai burung, pasangan harus memiliki tujuan hidup
yang tinggi. Daun beringin, pasangan harus selalu melindungi keluarga
mereka dan orang lain. Daun kruton, melindungi pasangan pengantin dari
roh-roh jahat. Daun dadap serep, daun ini dapat menjadi obat turun
panas, menandakan pasangan harus selalu berpikiran jernih dan tenang
dalam menghadapi segala permasalahan (menenangkan perasaan dan
mendinginkan kepala). Bunga Patra Manggala, digunakan untuk
mempercantik hiasan kembar mayang.
Sebagai hiasan,
sepasang kembar mayang diletakkan di samping kanan dan kiri tempat
duduk pengantin selama resepsi pernikahan. Kembar mayang hanya
digunakan jika pasangan pengantin belum pernah menikah sebelumnya.
Dan kemudian melanjutkan upacara dengan melakukan beberapa ritual:
16.
Balangan Suruh. Setelah pengantin laki-laki (dengan ditemani kerabat
dekatnya, dan orang tuanya tidak boleh menemaninya dalam acara ini)
tiba di depan gerbang rumah pengantin perempuan dan pengantin perempuan
keluar dari kamar pengantin dengan diapit oleh dua orang tetua
perempuan dan diikuti dengan orangtua dan keluarganya. Di depannya dua
anak perempuan (yang disebut Patah) berjalan dan dua remaja laki-laki
berjalan membawa kembar mayang. Pada saat jarak mereka sekitar tiga
meter, mereka saling melempar tujuh bungusan yang berisi daun sirih,
jeruk, yang ditali dengan benang putih. Mereka melempar dengan penuh
semangat dan tertawa. Dengan melempar daun sirih satu sama lain,
menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian yang
menyamar jadi pengantin. Selain itu ritual ini juga melambangkan cinta
kasih dan kesetiaan.
17. Wiji Dadi. Mempelai laki-laki
menginjak telur ayam hingga pecah dengan kaki kanan, kemudian pengantin
perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini
melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap
keluarganya dan istri yang taat melayani suaminya.
18.
Pupuk. Ibu pengantin perempuan yang mengusap pengantin laki-laki
sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.
19.
Sindur Binayang. Di dalam ritual ini ayah pengantin perempuan menuntun
pasangan pengantin ke kursi pelaminan, ibu pengantin perempuan
menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa sang ayah menunjukkan jalan
menuju kebahagiaan dan sang ibu memberikan dukungan moral.
20.
Timbang/Pangkon. Di dalam ritual ini pasangan pengantin duduk di
pangkuan ayah pengantin perempuan, dan sang ayah akan berkata bahwa
berat mereka sama, berarti bahwa cinta mereka sama-sama kuat dan juga
sebagai tanda kasih sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama
besarnya.
21. Tanem. Di dalam ritual ini ayah pengantin
perempuan mendudukkan pasangan pengantin di kursi pengantin sebagai
tanda merestui pernikahan mereka dan memberikan berkat.
22.
Tukar Kalpika. Mula-mula pengantin pria meninggalkan kamarnya dengan
diapit oleh anggota laki-laki keluarga (saudara laki-laki dan
paman-paman). Seorang anggota keluarga yang dihormati terpilih untuk
berperan sebagai kepala rombongan. Pada waktu yang sama, pengantin
perempuan juga meninggalkan kamar sambil diapit oleh bibi-bibinya untuk
menemui pengantin pria. Sekarang kedua pengantin duduk di meja dengan
wakil-wakil dari masing-masing keluarga, dan kemudian saling menukarkan
cincin sebagai tanda cinta.
23. Kacar-Kucur/Tampa
Kaya/Tandur. Dengan bantuan Pemaes, pasangan pengantin berjalan dengan
memegang jari kelingking pasangannya, ke tempat ritual kacar-kucur atau
tampa kaya. Pengantin pria akan menuangkan kacang kedelai, kacang
tanah, beras, jagung, beras ketan, bunga dan uang logam (jumlahnya
harus genap) ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah.
Pengantin perempuan menerima hadiah ini dengan dibungkus kain putih
yang ada di pangkuannya sebagai simbol istri yang baik dan peduli.
24.
Dahar Kembul/Dahar Walimah. Kedua pengantin saling menyuapi nasi satu
sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam
susah dan senang dan saling menikmati milik mereka bersama. Pemaes akan
memberikan sebuah piring kepada pengantin perempuan (berisi nasi
kuning, telur goreng, kedelai, tempe, abon, dan hati ayam).
Pertama-tama, pengantin pria membuat tiga bulatan nasi dengan tangan
kanannya dan menyuapkannya ke mulut pengantin perempuan. Setelah itu
ganti pengantin perempuan yang menyuapi pengantin pria. Setelah makan,
mereka lalu minum teh manis.
25. Rujak Degan. Acara
pembuka untuk anak pertama, memohon supaya segera memiliki anak. Rujak
degan artinya agar dalam pernikahan selalu sehat sejahtera.
26. Bubak Kawah. Acara perebutan alat-alat dapur untuk anak pertama. Artinya agar pernikahan keduanya sehat dan sejahtera.
27. Tumplak Punjen. Acara awal untuk anak bungsu. Artinya segala kekayaan ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
28.
Mertui. Orang tua pengantin perempuan menjemput orang tua pengantin
laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara.
Kedua ibu berjalan di muka, kedua ayah di belakang. Orangtua pengantin
pria duduk di sebelah kiri pasangan pengantin, dan sebaliknya.
29.
Sungkeman. Kedua pengantin bersujud memohon restu dari masing-masing
orangtua. Pertama-tama ayah dan ibu pengantin perempuan, kemudian baru
ayah dan ibu pengantin pria. Selama sungkeman, Pemaes mengambil keris
dari pengantin pria, dan setelah sungkeman baru dikembalikan lagi.
Itulah
beberapa adat istiadat dan kebudayaan di kalangan masyarakat Jawa yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya ada yang berupa syirik,
dan di antaranya ada yang berupa maksiat dan penghambur-hamburan harta
dan pemberatan atas manusia. Maha Benar Allah yang mengatakan:
"Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah" [Thaha 20:2].
Siapa saja yang berpaling dari pedoman dan syariatnya pasti sempit dan susah hidupnya, Allah berfirman:
"Dan
barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta". [Thaha/20:124].
E. Tabot atau Tabuik.
Tabot
atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan
Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61
Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali
dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo
pada tahun 1685. Syaih Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan
wanita Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka
disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai
10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun.
Pada
awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah
dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan
memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab,
“tabut”, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti.
Dalam
Al-Qur`ân, kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab
Taurat. Bani Israil pada masa itu percaya bahwa mereka akan
mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan pemimpin
mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu
hilang.
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara
Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang
berangkat dari upacara berkabung para penganut paham Syi'ah ini dibawa
oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di
Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari
Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan
penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok
dengan tata kehidupan masyarakat Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo
alias Syaikh Burhanuddin, memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman
baru yang disebut Berkas, sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Tengah
Padang. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada
keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu
asli dan menghasilkan keturunan yang dikenal dengan sebutan orang-orang
Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya
tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan
kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal
dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari
Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh,
Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot
menghilang di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua
tempat, yaitu di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar
(masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun
cara pelaksanaannya agak berbeda.
Jika pada awalnya
upacara Tabot (Tabuik) digunakan oleh orang-orang Syi‘ah untuk
mengenang gugurnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, maka sejak
orang-orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi‘ah, upacara ini
dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk memenuhi wasiat leluhur
mereka. Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain melaksanakan
wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud partisipasi
orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah
Bengkulu setempat.
Dengan alasan melestarikan budaya
itulah, banyak kaum muslimin melakukannya. Padahal tidak diragukan lagi
bahwa adat dan budaya seperti itu sangat jelas bertentangan dengan
nilai-nilai Islam dan mengandung unsur syirik dan bid’ah. Sehingga
wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya.
F. Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat
desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan
yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat
yang diselenggarakan antara lain:
1. Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2. Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan yaitu acara khinatan.
Masyarakat
di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan
lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si
gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan
(lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau
kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak
keluarga melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3
(telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh dino), ke-100
(satus dino), 1 tahun (pendak pisan), 2 tahun (pendak pindo) dan 3
tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Acara-acara seperti ini berbau budaya Hindu yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat.
Kesimpulannya :
Sebenarnya masih banyak lagi adat dan budaya yang menyebar di
tengah-tengah masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam
yang benar. Adapun yang kami sebutkan itu hanyalah sebagai contoh, dan
bentuknya bisa berubah-ubah dan bervariasi sesuai dengan perkembangan
budaya itu sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah kaum
muslimin secara cermat meneliti asal usulnya, apakah budaya itu
mengandung unsur yang dilarang dalam agama atau tidak? Sebab, kita
harus menjadikan syariat Islam sebagai barometernya, bukan sebaliknya.
Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, dan
sebenar-benar pedoman adalah pedoman para salaf.
Marâji`:
1. Âdâbul-Khithbah wa Zifâf Minal-Kitâb wa Shahîhis-Sunnah, ‘Amru Abdul-Mun'im Salim.
2. Âdâbusy-Syar'iyyah, Ibnu Muflih.
3. Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5. Mausu’ah Adab Islami, Abu ‘Umar ‘Abdul-‘Aziz bin Fathi bin as-Sayyid Nidâ`.
6.
Ritual Budaya Tabot Sebagai Media Penyiaran Dakwah Islam di Bengkulu,
Bambang Indarto, Skripsi Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2006.
7. Wikipedia Indonesia.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2643/slash/0
http://almanhaj.or.id/content/2643/slash/0/pandangan-islam-terhadap-kebudayaan/