Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi
Sesungguhnya
Allah Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam
dengan membawa petunjuk dan agama yang haq (benar). Oleh karena itulah
Allah Ta'ala memenangkan agama ini di atas seluruh agama, walaupun orang
kafir tidak menyukainya. Kemudian dengan berjalannya waktu dan jauhnya
masa dari zaman kenabian, umat Islam semakin jauh dari agamanya yang
haq. Banyak perkara yang bukan agama dianggap sebagai agama. Demikian
juga, lemahnya ilmu dan semangat mengamalkan Islam telah banyak menimpa
umat ini. Maka tidak aneh, Allah Ta'ala menimpakan kehinaan pada umat
ini. Kehinaan itu tidak akan hilang sehingga mereka kembali kepada
agama-Nya.
Satu Realita yang Menyedihkan
Keadaan
umat dewasa ini termasuk sudah mencapai tingkatan terendah dalam
sejarah Islam. Kehinaan, keterbelakangan, dan penjajahan--baik yang
terang-terangan maupun samar--tetap melekat pada negara-negara Islam.
Tentunya hal ini membuat kita berpikir dan selalu bertanya mengapa
demikian dan apa yang membuat kaum muslimin terjerumus ke dalam keadaan
seperti ini. Lalu, kita pun bertanya adakah solusi dari ini semua?
Banyak
tokoh kaum muslimin mencari solusi menuju kejayaan Islam dengan aneka
ragam pemikiran dan konsepnya. Ada yang menjadikan ekonomi sebagai sebab
kemunduran dan solusinya adalah mengembangkan perekonomian yang unggul
dan maju. Ada juga yang menjadikan partai politik sebagai kendaraan
menuju kejayaan tersebut. Ada juga yang hanya memperhatikan adab dan
budi pekerti tanpa menyentuh akidah Islam.
Mungkin
mereka semua lupa atau belum tahu bahwa Islam adalah agama yang
sempurna dan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan
seluruh kebaikan yang akan membuat umat ini jaya di dunia dan akhirat.
Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam juga telah memperingatkan umat ini
dari semua hal yang berbahaya dan merugikan bagi dunia dan akhirat
mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa sallam:
Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam pun telah menjelaskan keadaan umat secara umum dalam sabdanya:
“Dan sesungguhnya (bagi) umat kalian
ini, keselamatannya dijadikan di awalnya. Dan di akhirnya, mereka akan
ditimpa musibah dan perkara-perkara yang kalian ingkari, sehingga fitnah
akan datang lalu sebagiannya menganggap kecil sebagian yang lain.
Kemudian datanglah fitnah, seorang mukmin akan berkata, ‘Inilah
kebinasaanku.’ Lalu fitnah itu hilang. Kemudian datang lagi fitnah lalu
seorang mukmin berkata, ‘Inilah, inilah.’ Barangsiapa yang ingin
diselamatkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah
kematiannya menjemputnya dalam keadaan ia telah beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan hendaklah ia bersikap kepada orang lain sebagaimana ia
ingin orang lain bersikap demikian terhadapnya. Barangsiapa membai’at
(berjanji untuk patuh dan taat dalam kebaikan -ed) kepada seorang imam
dan ia telah memberikan tepukan tangannya (perjanjiannya) dan buah
hatinya, maka hendaklah menaatinya apabila mampu. Apabila ada seseorang
menentang imam tersebut, maka bunuhlah.” (Riwayat Muslim)
Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan kemunduran umat ini, keadaan, sebab, dan solusinya.
Realitas Umat Dalam Hadits Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam
Jika
kita melihat kenyataan umat Islam ini dengan pandangan agama Islam,
kita akan mendapati realita umat yang terpuruk. Sesungguhnya, hal ini
telah diberitakan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. Inilah di
antara realita umat Islam ini.
Syekh
Salim bin 'Ied al-Hilali rahimahullah menjelaskan sebagian kandungan
hadits yang mulia ini, “Bahwa umat Islam telah menjadikan dunia sebagai
keinginannya yang terbesar dan sebagai puncak ilmunya. Oleh karena itu,
mereka membenci kematian dan mencintai kehidupan (dunia), karena mereka
membangun dunia tetapi tidak berbekal untuk akhirat.” (Limaadza Ikhtartu
al-Manhajas Salafii, hlm.11)
Ini yang Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam takutkan, yaitu bila umat ini telah sampai pada keadaan seperti ini.
Dari
Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiyallahu 'Anhu dari Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Jika
negara Parsi dan Romawi telah ditaklukan untuk kalian, kaum apakah
kalian?” Abdurrahman bin Auf berkata, “Kami berbuat sebagaimana yang
Allah perintahkan kepada kami.”1
Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam berkata, “Tidak seperti itu,
kalian akan berlomba-lomba kemudian saling hasad (iri hati), kemudian
saling membenci lalu saling bermusuhan. Kemudian kalian berangkat ke
tempat-tempat tinggal kaum muhajirin dan kalian menjadikan sebagian
mereka membunuh sebagian yang lain.” (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, ketika gudang harta Kisra (Raja Parsi) ditaklukkan, Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu menangis dan berkata:
“Sesungguhnya ini tidak dibukakan bagi suatu kaum, kecuali Allah menjadikan peperangan di antara mereka.”
Apa
yang ditakutkan oleh khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu
ini pun akhirnya terjadi. Mulailah bermunculan perpecahan yang membuat
kaum kafir mampu menghancurkan kaum muslimin. Sebagaimana telah
disebutkan dengan jelas dalam hadits Tsauban :
Dari Tsauban, dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya aku memohon
kepada Robbku untuk umatku agar Dia tidak membinasakan umatku dengan
paceklik yang merata, dan agar Dia tidak menjadikan musuh dari selain
mereka menguasai mereka, sehingga musuh itu akan merampas daerah mereka.
Dan sesungguhnya Rabbku berkata kepadaku,’Wahai Muhammad, sesungguhnya
jika Aku telah menetapkan satu keputusan, maka itu tidak akan ditolak.
Dan Aku tidak akan membinasakan mereka (umatmu) dengan paceklik yang
merata. Dan Aku tidak akan menjadikan musuh dari selain mereka menguasai
mereka, sehingga musuh itu akan merampas daerah mereka, walaupun musuh
berkumpul dari berbagai penjuru bumi, sampai sebagian mereka (umatmu)
membinasakan sebagian yang lain, dan sampai sebagian mereka (umatmu)
menjadikan tawanan sebagian yang lain.’.” (Riwayat Abu Daud:
no.4252; Ahmad: 5/278, 284; Al-Baihaqi: no.3952. Dishahihkan oleh Syaikh
Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallamashiruddin al-Albani)
Lalu
apa yang membuat kekuatan kaum muslimin dan bentengnya runtuh sehingga
mereka terjangkit penyakit cinta dunia dan takut mati? Jawabannya kita
dapatkan pada petunjuk kenabian yang ada pada hadits Hudzaifah bin
al-Yaman Radhiyallahu 'Anhu. beliau Radhiyallahu 'Anhu berkata:
“Orang-orang
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam tentang
kebaikan sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan karena aku
takut jangan-jangan keburukan itu akan menimpaku. Maka aku bertanya,
‘Wahai Rasulullah, kami dahulu berada di zaman jahiliyah dan keburukan,
lalu Allah memberikan kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini ada
keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya, ‘Dan apakah setelah
keburukan itu ada kebaikan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan padanya ada kabut
(dakhan).’ Aku bertanya lagi, ‘Apa kabut (dakhan) tersebut?’ Beliau
menjawab, ‘Satu kaum yang mengikuti teladan selain sunnah (ajaran)ku,
dan mengambil petunjuk selain petunjukku, kamu menganggap baik dari
mereka dan kamu pun mengingkarinya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah
kebaikan itu ada keburukan lagi.’ Beliau menjawab, ‘Ya, para da’i yang
mengajak ke pintu-pintu neraka (jahanam). Barangsiapa yang menerima
ajakan mereka, niscaya mereka jerumuskan ke dalam neraka.’ Aku bertanya
lagi, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang sifat-sifat
mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka dari kaum kita dan berbicara dengan
bahasa kita.’ Aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan kepadaku jika aku menemuinya?’ Beliau menjawab, ‘Berpegang
teguhlah pada jamaah kaum muslimin dan imamnya,’ Aku bertanya lagi,
‘Bagaimana jika tidak ada jamaah maupun imam?’ Beliau menjawab,
‘Hindarilah semua kelompok-kelompok itu, walaupun dengan menggigit pokok
pohon hingga kematian menjemputmu dalam keadaan seperti itu.’.” (Riwayat Muslim)
Syekh
Salim bin ‘Ied al-Hilali rahimahullah menyatakan, “Sesungguhnya racun
berbahaya yang menghancurkan kekuatan kaum muslimin, melumpuhkan gerakan
mereka, dan merenggut berkahnya, bukanlah pedang-pedang orang kafir
yang berkumpul mengadakan tipu daya terhadap Islam, pemeluknya, dan
negaranya. Akan tetapi, dia adalah bakteri penyakit yang keji yang
merebak di dalam tubuh Islam yang besar dalam waktu yang sangat lambat
tetapi terus menerus dan efektif (berdaya guna). Hal ini menegaskan
bahwa penamaan orang-orang Yahudi terhadap negara Islam dengan nama
“laki-laki yang sakit” (the sickman) sangat tepat sekali, karena
merekalah yang menanamkan bakteri syahwat dan virus syubhat (kerancuan
-ed) ke dalam tatanan negara Islam, kemudian tumbuh dan berkembang di
bawah pemeliharaan dan pembinaan mereka.” (Limaadza Ikhtartu al-Manhajas
Salafii)
Dalam
hadits di atas telah jelaslah bahwa penyebab kehancuran kaum muslimin
adalah kebid’ahan dan da’i-da’i sesat. Kemudian, da’i-da’i sesat pembuat
fitnah sangat semangat dalam melancarkan program-programnya.
Sebaliknya, orang-orang yang berada dalam kebenaran, lengah dan
terlelap. Buktinya adalah dakhan (kabut) ini membesar sampai mengalahkan
kebenaran, menyerang kebenaran dan ahlinya, menyerahkan urusan kepada
selain ahlinya, serta meletakkan kebenaran bukan pada tempatnya. Di
sinilah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menyampaikan sabdanya:
“Akan
datang masa-masa yang menipu. (Pada saat itu), para pendusta dibenarkan
dan orang-orang yang jujur didustakan, para pengkhianat diberi amanat
dan orang yang (menjaga) amanat dianggap pengkhianat, dan pada masa itu
para ruwaibidhah berbicara. Lalu ada yang mengatakan, ‘Siapakah
“ruwaibidhah” itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang bodoh yang berbicara tentang
permasalahan umat.’.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Syekh
Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimi rahimahullah menyampaikan bahwa
realita umat Islam dewasa ini terjadi karena tiga perkara:
-
Pertama: Bercampurnya sesuatu yang bukan berasal dari agama (Islam) dengan sesuatu yang berasal dari agama (Islam).
-
Kedua: Lemahnya keyakinan terhadap sesuatu yang termasuk bagian dari agama (Islam).
-
Ketiga: Tidak mengamalkan hukum-hukum agama (Islam).
Apabila
kesimpulan beliau dicermati, ternyata (akar permasalahan) kembali
kepada kebid’ahan yang tercampur di dalam agama ini. Kebid’ahan inilah
yang melemahkan keyakinan kaum muslimin terhadap ajaran agamanya,
sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Hudzaifah. Dari kurang yakinnya
kaum muslimin terhadap ajaran Islam, muncullah kecintaan kepada dunia
yang mengantarkan mereka untuk meninggalkan hukum-hukum agama yang mulia
ini.
KEMBALI KEPADA ISLAM
Dengan
keadaan yang buruk disebabkan jauhnya dari agama Allah, maka keadaan
umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan kembali menuju agama
ini. Solusi ini bukanlah ijtihad (penentuan pendapat oleh ulama tentang
hukum suatu hal dalam Islam, berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah –ed)
dari ulama yang berijtihad, namun ketetapan Nabi Shallallahu `alaihi wa
sallam. Oleh karena itu, semua pendapat yang bertentangan dengan nash
(dalil tegas) dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam adalah tertolak,
karena Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan solusi
kemuliaan umat ini, sebagaimana hadits di bawah ini:
Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kamu
berjual-beli 'inah (semacam riba), kamu memegangi ekor-ekor sapi, kamu
puas dengan tanaman, dan kamu meninggalkan jihad, maka Allah pasti akan
menimpakan kehinaan kepadamu. Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu
sehingga kamu kembali menuju agamamu.’." (Riwayat Abu Daud: no.3462; Ahmad: no.4825; dll. Lihat: Ash-Shahiihah: no.11)
Syekh
al-Albani menyatakan, “Kalau begitu, satu-satunya terapi adalah kembali
menuju agamamu, namun agama ini-–sebagaimana diketahui oleh semua orang
khususnya para penuntut ilmu agama--sangat diperselisihkan.
Perselisihan ini tidak hanya terbatas pada permasalahan furu’
(cabang)-–sebagaimana sangkaan banyak penulis dan ulama--. Akan tetapi,
perselisihan ini telah melampaui permasalahan akidah.”
Kemudian
beliau mempertanyakan, “Agama mana yang harus kita jadikan tempat
kembali?” (At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Haajatul Muslimin Ilaiha,
hlm.14-15)
Permasalahan
ini dijawab oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, yang
disampaikan oleh Abu Waaqid al-Laitsi Radhiyallahu 'Anhu:
“Sesungguhnya
Rasulullah pernah berkata, sedangkan kami dalam keadaan duduk-duduk di
tikar, ‘Akan muncul fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang kami kerjakan,
wahai Rasulullah?’.” Abu Waaqid menyatakan, “Lalu beliau mengembalikan
tangannya ke tikar lalu memegangnya dan berkata, ‘Kerjakan demikian!’.
Rasulullah
pada satu hari menjelaskan kepada mereka bahwa fitnah (ujian) akan
datang, lalu banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz berkata,
‘Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?’ Mereka
menjawab, ‘Apa yang dikatakannya?’ Mu’adz berkata, ‘Beliau bersabda,
‘Akan muncul fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami, wahai
Rasulullah? Atau apa yang harus kami lakukan?’ Beliau menjawab,
‘Kembalilah kepada perkaramu yang pertama.’.” (lihat: Silsilah
Shahiihah: no.11)
Dalam
hadits yang mulia ini Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam
menjelaskan terjadinya fitnah, ujian, dan musibah yang menimpa kaum
muslimin. Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam juga menjelaskan jalan
keluar dari semua (permasalahan) ini, yaitu dengan kembali kepada
perkara pertama, yaitu ajaran Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam
dan para sahabatnya g, sebagaimana disampaikan dalam hadits Irbaadh bin
Saariyah Radhiyallahu 'Anhu yang berbunyi:
“Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa sallam telah menasihati kami dengan sebuah
nasihat yang membuat mata kami meneteskan air mata dan membuat hati kami
bergetar. Maka kami berkata, ‘Wahai, Rasulullah! Sungguh ini adalah
nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau
berkata, ‘Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas jalan yang sangat
jelas, siangnya seperti malamnya, tidaklah (seseorang) berpaling darinya
setelahku kecuali (dia) binasa. Barangsiapa diantara kalian yang hidup,
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
berpegang teguh kepada sunnah (ajaran)ku dan sunnah
Khulafaaurraasyidiin (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus)
yang telah kalian ketahui. Gigitlah (sunnah tersebut) dengan gigi
geraham. Wajib atas kalian untuk taat (kepada pemerintah), walaupun yang
memerintah adalah budak habasyi (budak berkulit hitam), karena
sesungguhnya seorang mukmin itu seperti unta yang diberi tali kendali,
kemana dia diikat maka ia akan patuh." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat lain dinyatakan:
“Aku
wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat
(kepada penguasa kaum muslimin) walaupun (dia) seorang budak habasyi
(budak berkulit hitam). Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup
setelahku, maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib kalian
untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para
Khulafaaurraasyidiin (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan
lurus). Peganglah dan gigitlah (sunnah tersebut) dengan gigi geraham.
Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (Riwayat Abu Daud: no.4607; Tirmidzi: 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Saariyah)
Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, “Sabda Beliau Shallallahu `alaihi
wa sallam berisi berita dari Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam
tentang banyaknya perselisihan dalam masalah ushul (pokok) agama dan
furu’ (cabang)nya, serta perkataan, perbuatan, dan keyakinan yang
menimpa umat ini. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatakan
tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka
kecuali satu kelompok yaitu yang berada diatas ajaran Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Demikian juga
hadits ini berisi perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi
Shallallahu `alaihi wa sallam dan sunnah Khulaafaurraasyidiin setelah
beliau, ketika terjadi perpecahan dan perselisihan.
Siapakah yang Berada Di Atas Ajaran Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dan Para Sahabatnya ?
Orang
yang memperhatikan hadits-hadits di atas akan mengetahui dengan benar
jalan kembali tersebut. Apalagi hal ini telah diisyaratkan dalam sabda
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik
kalian adalah generasiku (sahabat), kemudian yang menyusul mereka
(tabi’in), kemudian yang menyusul mereka (tabi’ut tabi’in).” Imran
berkata, ‘Saya tidak ingat dengan benar apakah Nabi Shallallahu `alaihi
wa sallam menyampaikan setelah itu dua generasi atau tiga generasi.’.” (Riwayat Bukhari)
Bila
melihat kepada kejadian dan peristiwa sejarah masa lalu, maka jelaslah
bahwa orang yang paling kuat berpegang kepada jalan dan ajaran tiga
generasi di atas adalah ahlus sunnah dengan berbagai namanya, seperti
ahli hadits (orang yang berusaha mempelajari dan mengamalkan hadits Nabi
Shallallahu `alaihi wa sallam -ed), salafiyyuun (pengikut para sahabat,
tabi’in, dan tabi’ut tabi’in -ed), dan al-ghuraba’ (orang-orang yang
asing -ed).
Imam Abul Qasim Isma’il at-Taimi al-Ashbahani menyatakan:
“Kami
mengenal sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam
melalui atsar yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Kelompok
ini--yaitu ash-habul hadits--adalah orang yang paling semangat
menuntutnya, lebih semangat mengamalkannya, dan lebih mengikuti
pemiliknya (Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam). Maka wajib bagi
kita untuk berpegang teguh dengan al-Quran dan as-Sunnah, karena
merekalah ahlinya, bukan kelompok yang lainnya. Oleh karena orang yang
mengaku ahli dalam bidang tertentu, apabila tidak ada padanya sesuatu
yang menunjukkan keahliannya, maka ia telah membatalkan pengakuannya.
Keahlian seseorang diketahui dengan alatnya. Apabila engkau melihat
seseorang membuka pintu tokonya dengan membawa pemanggang besi
(al-kiir), palu, dan lempengan untuk pukulan (sanadan), maka engkau tahu
kalau ia adalah pandai besi. Apabila engkau melihat seseorang membawa
jarum dan gunting, maka engkau tahu bahwa ia adalah seorang penjahit.
Kapan saja seorang penjual kurma berkata kepada penjual minyak wangi,
“Saya adalah penjual minyak wangi,” maka ia akan menjawab, “Engkau
berdusta, sayalah penjual minyak wangi.” Semua orang umum yang
menyaksikan akan membenarkan ucapannya (bahwa penjual kurma itu
berdusta). Kami mendapati sahabat-sahabat kami bepergian mencari atsar
yang menunjukkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, lalu
mereka mengambilnya dari sumbernya, dan mengumpulkan dari
tempat-tempatnya serta menghapalnya. Mereka juga mengajak manusia untuk
mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Sunnah-sunnah ini (akhirnya)
menjadi banyak berada pada mereka dan ditangan mereka hingga mereka
terkenal dengannya, sebagaimana terkenalnya tukang roti dengan rotinya,
penjual kurma dengan kurmanya, dan penjual minyak wangi dengan minyak
wanginya. Sebaliknya, engkau melihat orang-orang lain terbalik
pengetahuan dan ittiba’ (sikap mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa sallam)nya, mencela sunnah (ajaran Nabi Shallallahu `alaihi
wa sallam), dan memotivasi manusia agar tidak memperhatikan pengumpulan
sunnah dan penyebarannya serta menggelari sunnah dan ahli sunnah dengan
gelaran yang paling jelek. Maka kami mengetahui dengan indikasi-indikasi
ini bahwa mereka yang bersemangat mengumpulkan sunnah, menghapal, dan
mengikutinya lebih pantas daripada kelompok-kelompok lain yang tidak
memperhatikannya. Hal tersebut karena yang dimaksud ittiba’ menurut para
ulama adalah mengambil sunnah-sunnah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam
yang telah shahih dan yang diperintahkan untuk mengamalkannya dan
berhenti dari larangannya. Indikasi-indikasi ini tampak jelas pada ahli
sunnah yang pantas menyandang nama ini.”
Memang
demikianlah mereka, seperti yang disampaikan oleh Manshur bin ‘Amaar
as-Sulami al-Khurasani, seorang ulama yang hidup ditahun 200-an, dalam
penuturannya:
“Allah
Ta'ala menugaskan penjagaan atsar (peninggalan para sahabat ) yang
menafsirkan al-Quran dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya kepada
sekelompok orang-orang pilihan. Allah Ta'ala memberikan mereka taufik
untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada
mereka dalam memelihara dan menjaganya. Allah Ta'ala juga memberikan
kecintaan membaca dan mempelajarinya kepada mereka, dan menghilangkan
dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan
jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka
bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di
setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang-camping,
perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan,
dan badan yang kurus. Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada
ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus
mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka
bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang
kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat,
pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga
(mereka) dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga,
perbuatan bid'ah orang-orang mulhid (orang yang menyimpang dari
kebenaran –ed), dan kedustaan para pendusta. Seandainya engkau melihat
mereka (para penjaga atsar –ed), mereka menghidupkan malam hari dengan
menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah
mereka kumpulkan, dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan
yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga
menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun
seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.
Kelelahan
telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga
waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka
berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan
rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan
mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan
antusias mereka kepada ilmu. Hal ini, tentu membuat engkau mengerti,
bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah. Apabila
mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari
keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya,
lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan
menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah, dan menyerah.
Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak
melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang
yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa
dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.2
Bagaimana Dengan Zaman Ini?
Orang
yang memperhatikan perjalanan para ulama ahlus sunnah di masa yang lalu
dan sekarang akan mendapati bahwa para ulama ahlus sunnah menempuh
jalan yang satu dalam berdakwah, di atas ilmu dan bashirah
(hujjah/argumentasi yang nyata), seperti dijelaskan Allah:
“Katakanlah,
‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku
tidak termasuk orang-orang musyrik.’.” (Yusuf: 108)
Dakwah
mereka mencakup ilmu, belajar (ta’allum) dan mengajar (ta’liim). Metode
ini dibangun diatas tiga dasar: mengetahui kebenaran, berdakwah
kepadanya, dan teguh di atasnya. Metode ini harus ditempuh dengan
tashfiyah dan tarbiyah.
Tashfiyah (pemurnian) adalah memurnikan Islam pada semua bidangnya dari semua perkara yang asing dan jauh darinya.
Tarbiyah
(pembinaan) adalah membina generasi-generasi Islam di zaman ini, yang
sedang tumbuh dengan Islam yang telah dimurnikan. (At-Tashfiyah wat
Tarbiyah, hlm.19, karya Syekh Ali bin Hasan al-Halabi)
Mengapa Harus Tashfiyah
Bila
kita perhatikan realita umat ini dan hadits-hadits Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam yang telah disampaikan di atas, kita mendapati bahwa
ajaran Islam telah terkotori kebid’ahan dan perkara-perkara yang justru
menyelisihi hakikat ajaran Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang
telah dipahami generasi pertama umat ini. Atas dasar itulah, sangat
perlu dilakukan pembaruan dan pemurnian ajaran tersebut dari yang
mengotorinya.
Syekh
Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi menjelaskan, “Setelah kita berpikir,
meneliti, dan mengkaji keadaan umat dengan tempat tumbuh
penyakit-penyakitnya, maka kita benar-benar mengetahui bahwa jalan-jalan
bid’ah dalam Islam adalah sebab terpecahbelahnya kaum muslimin, dan
kita mengetahui bahwa ketika kita melawannya berarti kita melawan
seluruh keburukan.” (Al-Ashalah: 1/34)
Jelaslah,
sebab munculnya perpecahan kaum muslimin adalah jauhnya mereka dari
ajaran Islam yang benar. Ajaran yang telah menyatukan para sahabat yang
sebelumnya mereka bercerai-berai dan saling memusuhi. Kemudian setelah
bercampurnya ajaran tersebut dengan kebid’ahan pada kaum muslimin,
terjadilah perpecahan dan permusuhan di antara mereka hingga akhirnya
mereka menjadi rendah dan hina seperti sekarang ini.
Sesungguhnya
tersebarnya kesesatan akidah, bid’ah-bid’ah ibadah, dan perselisihan
dalam agama menjadikan kaum muslimin lepas dari agamanya dan jauh dari
dua pondasi utamanya. Itulah yang menjauhkan kaum muslimin dari
keistimewaan-keistimewaan agama dan akhlaknya, sehingga sampai kepada
kondisi yang kita lihat sekarang.
Oleh
karena itu, kaum muslimin tidak mungkin selamat dari bid’ah, kesesatan,
atau penyimpangan-penyimpangan kecuali dengan tashfiyah terhadap agama
dan hal-hal yang terkait dengannya, dari seluruh noda dan perkara asing
yang masuk padanya.
Bidang-Bidang yang Ditashfiyah
Begitu
banyak bidang yang perlu ditashfiyah karena betapa banyak hal baru,
kebiasaan dan penyelewengan yang masuk, baik dalam perkara ushuluddin
(perkara pokok dalam agama) maupun furu’ (cabang)nya.
Syekh
Ali bin Hasan al-Halabi rahimahullah menyebutkan contoh bidang-bidang
yang perlu ditashfiyah, yaitu: (1) Akidah, (2) Hukum, (3) Sunnah, (4)
Fikih, (5) Tafsir, (6) Tazkiyah, (7) Pemikiran, (8) Tarikh, (9) Dakwah,
dan (10) Bahasa Arab.
Yang Melakukan Tashfiyah
Tentulah
tashfiyah tersebut dilakukan oleh para ulama yang telah mapan ilmunya.
Adapun masyarakat Islam, mereka mengikuti penjelasan ulama.
Sesungguhnya, ulama rabbaniyin akan tetap ada sampai akhir zaman yang
dikehendaki oleh Allah. Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Ilmu agama ini akan dibawa oleh
orang-orang yang terpercaya pada setiap generasi: mereka akan menolak
tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas,
ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh,
dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan.”
(Riwayat Ibnu ‘Adi, Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Hibban, dll,;
dinyatakan berderajat hasan oleh Syekh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam
Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hlm.77, juga oleh Syekh Ali bin Hasan di
dalam At-Tashfiyah wat Tarbiyah)
Para
ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang
terpercaya” dalam hadits ini adalah para ulama ahli hadits di setiap
zaman.
Mengiringi Tashfiyah dengan Tarbiyah
Nah,
jalan menuju kejayaan harus dimulai dengan mengembalikan ajaran Islam
ini seperti perkara pertamanya dengan melakukan tashfiyah, hingga
kembali sebagaimana yang dijalani Rasulullah Shallallahu `alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, baik dalam akidah, ibadah, suluk (jalan
hidup) dan seluruh perkara yang berkaitan dengan syariat. Namun, tidak
hanya berhenti sampai di sini. Hal tersebut harus dilanjutkan dengan
tarbiyah (pembinaan) umat di atas dasar ilmu yang sudah shahih dan sudah
di-tashfiyah (dimurnikan).
Syekh
al-Albani rahimahullah menyatakan, “Apabila kita ingin kejayaan dari
Allah dan kerendahan diangkat dari kita, serta kita dimenangkan dari
musuh-musuh kita, maka untuk mencapai itu semua, seluruh hal yang telah
saya isyaratkan--dari kewajiban meluruskan pemahaman dan menghilangkan
pemikiran-pemikiran yang menyelisihi dalil-dalil syar’i--tidaklah cukup
…. Disana ada hal lain yang sangat penting sekali-–inilah inti yang
sebenarnya--dalam meluruskan pemahaman, yaitu beramal; karena ilmu
adalah sarana untuk beramal. Apabila seseorang telah belajar dan ilmunya
sudah ter-tashfiyah, kemudian dia tidak mengamalkan ilmu tersebut, maka
sangat otomatis terjadi ilmu tersebut tidak menghasilkan buah. Oleh
karena itu, ilmu harus disertai dengan amalan. Sudah menjadi kewajiban
para ulama untuk mengurus pembinaan kaum muslimin yang baru di atas
dasar ketetapan yang ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jangan membiarkan
manusia berada di atas pemikiran dan kesalahan yang mereka warisi.
Sebagiannya pasti batil menurut kesepakatan para ulama, sebagiannya
masih diperselisihkan dan memiliki kekuatan dalam penelitian dan ijtihad
serta ra’yu (pendapat pribadi), dan sebagian ijtihad dan ra’yu ini
menyelisihi sunnah. Setelah dilakukan tashfiyah terhadap perkara-perkara
ini dan menjelaskan semua kewajiban memulai dan berjalan padanya, maka
harus ada tarbiyah (pembinaan) terhadap orang-orang baru di atas ilmu
yang shahih ini. Pembinaan inilah yang akan membentuk masyarakat Islam
yang bersih untuk kita dan kemudian akan tegak daulah Islam untuk kita.
Tanpa dua hal ini, yaitu ilmu yang shahih dan pembinaan yang benar di
atas ilmu yang shahih ini, mustahil-–menurut keyakinan saya--tiang-tiang
Islam akan tegak atau hukum Islam atau negara Islam.” (At-Tashfiyah wat
Tarbiyah wa Haajat an-Naas Ilaihaa, hlm.29-31)
Hal
ini dijabarkan oleh Syekh Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi dalam
pernyataan beliau, "Orang-orang yang mengenal Islam dan ikhlas
terhadapnya telah banyak melaporkan bahwa kelemahan dan kemunduran yang
menimpa umat Islam hanyalah disebabkan jauhnya mereka dari hakikat
Islam. Aku melihat bahwa hal itu kembali kepada tiga perkara:
-
Pertama: Bercampurnya sesuatu yang bukan berasal dari agama (Islam) dengan sesuatu yang berasal dari agama (Islam).
-
Kedua: Lemahnya keyakinan terhadap sesuatu yang termasuk bagian dari agama (Islam).
-
Ketiga: Tidak mengamalkan hukum-hukum agama (Islam).
Berdasarkan
ini, maka mengetahui adab-adab yang benar yang diajarkan Nabi
Shallallahu `alaihi wa sallam di dalam ibadah dan mu'amalah, tinggal dan
bersafar, bergaul dengan orang lain dan sendirian, gerakan dan diam,
bangun dan tidur, makan dan minum, berbicara dan diam, dan selain itu
yang ada pada kehidupan manusia, dengan berusaha mengamalkannya sesuai
dengan kesanggupan, itu adalah obat satu-satunya untuk penyakit-penyakit
itu. Sesungguhnya banyak dari adab-adab itu mudah pada jiwa, maka jika
seseorang mengamalkan sesuatu yang mudah baginya, dengan meninggalkan
hal yang menyelisihinya, insyaallah tidak lama (kemudian) dia ingin
menambah. Sehingga mudah-mudahan tidaklah lewat satu masa tertentu
kecuali dia telah menjadi teladan bagi orang lain di dalam hal itu.
Dengan
mengikuti petunjuk Nabi yang lurus itu, dan berakhlak dengan akhlak
yang agung itu, walaupun sampai batas tertentu, hati akan bersinar, dada
akan longgar, jiwa akan tenang, sehingga keyakinan menjadi mendalam,
dan amalan menjadi baik. Jika banyak orang yang meniti jalan ini, tidak
lama penyakit-penyakit itu akan hilang, insyaallah". (Mukaddimah pada
kitab Fadhlullahis Shamaad 1/17; dinukil dari At-Tashfiyah wat Tarbiyah,
hlm: 19-20, karya Syekh Ali bin Hasan al-Halabi)
Demikian kemudahan yang diberikan Allah Ta'ala kepada penulis, mudah-mudahan bermanfaat.
Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamiiin
1 Kami memuji, mensyukuri, dan memohon tambahan keutamaan-Nya. (an-Nawawi: 18/96)
2
Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa'i, hlm. 220-221. Dinukil
dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa
al-Dha'ifah, hlm.6-7.
http://pengusahamuslim.com/tashfiyah-dan-tarbiyah-jalan-menuju-kejayaan-umat/#.U2pBv6JXebg