MUKADIMAH
Ketentraman dan hidayah… Keduanya adalah mata air kebahagiaan.
Dengan ketentraman seorang hamba akan terbebas dari cekaman rasa takut dan kesedihan. Dan dengan hidayah maka seorang hamba akan mengetahui dan menemukan jalan keluar bagi berbagai macam persoalan.
Lebih dari itu semua, sesungguhnya puncak kebahagiaan seorang yang bertauhid terletak pada keduanya. Petunjuk di dunia dan keamanan yang hakiki di akherat kelak. Itulah dua buah perkara yang sangat diambakan oleh setiap insan.
URGENSI KETENTRAMAN DAN KEAMANAN
Ketentraman dan rasa aman sangat diperlukan oleh umat manusia. Sebaliknya, cekaman rasa takut membuat hidup mereka tidak nyaman. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah meminta keamanan sebelum memohon agar dijauhkan dari praktek-praktek kesyirikan sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman,
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, ‘Rabbku. Jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada patung.’.” (QS. Ibrahim [14]: 35)
Asy Syaukani mengatakan, “Pengajuan permintaan keamanan sebelum semua permintaan yang disebutkan sesudahnya dikarenakan apabila rasa aman sudah hilang, maka tidak tersisa lagi kesempatan baginya untuk mengurusi hal-hal yang lain, baik yang menyangkut urusan agama maupun urusan keduniaan.” (Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Masih segar dalam ingatan kita, rumah-rumah yang hancur akibat gempa Jogja beberapa waktu yang silam. Masih terngiang-ngiang di telinga, isak tangis anak-anak kecil yang kehilangan orang tua, sanak saudara, dan rumah satu-satunya. Hari-hari yang diwarnai dengan rintihan kesakitan para korban gempa. Masih terbayang-bayang di mata, kaki-kaki dan tangan-tangan yang patah dan berlumuran darah. Masih melekat dalam benak kita, bagaimana manusia berlarian demi menyelamatkan dirinya. Pada hari itu, rasa aman telah hilang dan berganti dengan ketakutan yang mencekam. Pada saat seperti itu, tidak ada lagi yang mereka pikirkan kecuali bagaimana bisa mengamankan jiwanya dari ancaman kematian!)
PENTINGNYA HIDAYAH
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
“Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini pun menjadi salah satu senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.”
“Adapun pertanyaan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat yang bersamaan. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan yang lurus.”
“Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara juz’iyaat yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka.”
“Pada asalnya manusia itu tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberi atau tidak memberi kepada orang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga. Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya membutuhkan ilmu yang bisa menyingkap kejahilannya dan sikap adil yang dapat menyingkirkan sifat zalimnya. Apabila Allah tidak menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa sifat bodoh dan zalim yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.
Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’atur Ridwan,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2)
Kalau keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau ?” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
DUA MACAM HIDAYAH
Hidayah itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.
Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
BERJALAN MENUJU DAN DI ATAS JALAN YANG LURUS
Setelah mengemukakan bahwa hidayah yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ ada 2: ila shirath (menuju jalan yang lurus) dan fi shirath (di atas jalan yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan, “Hidayah ‘ila shirath’ yaitu berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang lain. Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai semua rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka doa ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam setiap raka’at shalatnya dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya terhadap hal itu.”
HAKEKAT JALAN YANG LURUS
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
Syaikhul Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)
MENYIRAMI HATI DENGAN HIDAYAH AL QUR’AN
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.” (QS. Al-Israa’ [17]: 9)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus. Maka dari itu sudah semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman, ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya. Dengan cara inilah mereka bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan Syaikh As Sa’di.
Ketentraman dan hidayah… Keduanya adalah mata air kebahagiaan.
Dengan ketentraman seorang hamba akan terbebas dari cekaman rasa takut dan kesedihan. Dan dengan hidayah maka seorang hamba akan mengetahui dan menemukan jalan keluar bagi berbagai macam persoalan.
Lebih dari itu semua, sesungguhnya puncak kebahagiaan seorang yang bertauhid terletak pada keduanya. Petunjuk di dunia dan keamanan yang hakiki di akherat kelak. Itulah dua buah perkara yang sangat diambakan oleh setiap insan.
URGENSI KETENTRAMAN DAN KEAMANAN
Ketentraman dan rasa aman sangat diperlukan oleh umat manusia. Sebaliknya, cekaman rasa takut membuat hidup mereka tidak nyaman. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah meminta keamanan sebelum memohon agar dijauhkan dari praktek-praktek kesyirikan sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, ‘Rabbku. Jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada patung.’.” (QS. Ibrahim [14]: 35)
Asy Syaukani mengatakan, “Pengajuan permintaan keamanan sebelum semua permintaan yang disebutkan sesudahnya dikarenakan apabila rasa aman sudah hilang, maka tidak tersisa lagi kesempatan baginya untuk mengurusi hal-hal yang lain, baik yang menyangkut urusan agama maupun urusan keduniaan.” (Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Masih segar dalam ingatan kita, rumah-rumah yang hancur akibat gempa Jogja beberapa waktu yang silam. Masih terngiang-ngiang di telinga, isak tangis anak-anak kecil yang kehilangan orang tua, sanak saudara, dan rumah satu-satunya. Hari-hari yang diwarnai dengan rintihan kesakitan para korban gempa. Masih terbayang-bayang di mata, kaki-kaki dan tangan-tangan yang patah dan berlumuran darah. Masih melekat dalam benak kita, bagaimana manusia berlarian demi menyelamatkan dirinya. Pada hari itu, rasa aman telah hilang dan berganti dengan ketakutan yang mencekam. Pada saat seperti itu, tidak ada lagi yang mereka pikirkan kecuali bagaimana bisa mengamankan jiwanya dari ancaman kematian!)
PENTINGNYA HIDAYAH
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
“Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini pun menjadi salah satu senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.”
“Adapun pertanyaan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat yang bersamaan. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan yang lurus.”
“Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara juz’iyaat yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka.”
“Pada asalnya manusia itu tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberi atau tidak memberi kepada orang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga. Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya membutuhkan ilmu yang bisa menyingkap kejahilannya dan sikap adil yang dapat menyingkirkan sifat zalimnya. Apabila Allah tidak menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa sifat bodoh dan zalim yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.
Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’atur Ridwan,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2)
Kalau keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau ?” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
DUA MACAM HIDAYAH
Hidayah itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.
Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
BERJALAN MENUJU DAN DI ATAS JALAN YANG LURUS
Setelah mengemukakan bahwa hidayah yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ ada 2: ila shirath (menuju jalan yang lurus) dan fi shirath (di atas jalan yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan, “Hidayah ‘ila shirath’ yaitu berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang lain. Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai semua rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka doa ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam setiap raka’at shalatnya dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya terhadap hal itu.”
HAKEKAT JALAN YANG LURUS
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
Syaikhul Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)
MENYIRAMI HATI DENGAN HIDAYAH AL QUR’AN
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus. Maka dari itu sudah semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman, ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya. Dengan cara inilah mereka bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan Syaikh As Sa’di.
MENGOBATI PENYAKIT HATI DENGAN AL QUR’AN
Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Di antara hidayah teragung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat yang baik dan pemahaman yang benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’lamul Muwaqqi’in, I/87)
Dengan demikian, petunjuk dari Allah adalah nikmat agung yang harus disyukuri. Ibnul Qayyim mengatakan, “Besarnya nikmat yang diperoleh hamba tergantung kadar hidayah yang didapatkannya…”
TAUFIK DI TANGAN ALLAH
Apa yang bisa kita perbuat tanpa petunjuk dan taufik dari Allah? Tidak ada! Oleh sebab itu sadarilah hal itu. Semuanya ada di tangan Allah. Kita tidak menguasai apa-apa barang sedikitpun. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman dari-Nya maka sudah semestinya kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya untuk menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”
Beliau melanjutkan, “Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri, dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al khudzlan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”
SYARAT MERAIH KEAMANAN DAN HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud,
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai suatu kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, pent). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan keterangannya, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti orang yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash al-Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.”
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah “mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” Dan semakin kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya, maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.
ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS
Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.
Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
PENUTUP
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik, bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.
Allahumma inna nas’alukal huda wat tuqa wal ‘afaafa wal ghina.
Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik, Ya Musharrifal qulub sharrif qalbi ila thaa’atik.
Allahumma ‘allimna ma yanfa’una, wanfa’na bima ‘allamtana, wa zidna ‘ilma.
Allahuma inni a’udzubika min ‘ilmin la yanfa’ wa min qalbin la yakhsya’ wa min nafsin la tasyba’ wa min da’watin la yustajabu laha.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid dien. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Selesai disusun ulang di Yogyakarta, Rabu 14 Muharram 1429
Hamba yang sangat membutuhkan Rabbnya. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya dan seluruh kaum muslimin.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah.html
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah-2.html
Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Di antara hidayah teragung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat yang baik dan pemahaman yang benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’lamul Muwaqqi’in, I/87)
Dengan demikian, petunjuk dari Allah adalah nikmat agung yang harus disyukuri. Ibnul Qayyim mengatakan, “Besarnya nikmat yang diperoleh hamba tergantung kadar hidayah yang didapatkannya…”
TAUFIK DI TANGAN ALLAH
Apa yang bisa kita perbuat tanpa petunjuk dan taufik dari Allah? Tidak ada! Oleh sebab itu sadarilah hal itu. Semuanya ada di tangan Allah. Kita tidak menguasai apa-apa barang sedikitpun. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman dari-Nya maka sudah semestinya kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya untuk menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”
Beliau melanjutkan, “Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri, dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al khudzlan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”
SYARAT MERAIH KEAMANAN DAN HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud,
لَمَّا
نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ
قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ}
بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا
بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai suatu kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, pent). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan keterangannya, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti orang yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash al-Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.”
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah “mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” Dan semakin kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya, maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.
ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS
Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.
Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
PENUTUP
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik, bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.
Allahumma inna nas’alukal huda wat tuqa wal ‘afaafa wal ghina.
Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik, Ya Musharrifal qulub sharrif qalbi ila thaa’atik.
Allahumma ‘allimna ma yanfa’una, wanfa’na bima ‘allamtana, wa zidna ‘ilma.
Allahuma inni a’udzubika min ‘ilmin la yanfa’ wa min qalbin la yakhsya’ wa min nafsin la tasyba’ wa min da’watin la yustajabu laha.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid dien. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Selesai disusun ulang di Yogyakarta, Rabu 14 Muharram 1429
Hamba yang sangat membutuhkan Rabbnya. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya dan seluruh kaum muslimin.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah.html
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah-2.html