Minggu, 04 Mei 2014

Kaitan Tauhid Dengan Al Wala’ Wal Bara’

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
al-Wala’ wal Bara’ atau loyalitas dan kebencian merupakan bagian penting di dalam Islam. Cinta dan benci karena Allah bahkan merupakan simpul keimanan yang paling kuat.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk menghancurkan agama Islam.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])

Mujahid rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul keimanan adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menceritakan, suatu ketika seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan hari kiamat terjadi?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?”. Ia menjawab, “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Nabi bersabda, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata, “Tidaklah kami bergembira setelah masuk Islam dengan kegembiraan yang lebih besar selain tatkala mendengar sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, Kamu akan bersama dengan orang yang kamu cintai.” Maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bersama mereka -di akherat- meskipun aku tidak bisa beramal seperti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa kecintaan yang bermanfaat itu meliputi:
  1. Cinta kepada Allah -yang sejati, bukan sekedar klaim/omong kosong-,
  2. Mencintai apa saja yang Allah cintai,
  3. Cinta terhadap sesuatu atau seseorang karena Allah (hubb lillah wa fillah) (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 97 dan ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 214)
Kecintaan kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِى

Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya -subhanahu wa ta’ala- ialah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan tidak menyelisihi aturan-Nya, demikian pula halnya kecintaan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/96])
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman seorang hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming dunia atau ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Aku pun bertanya kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka -pengikut nabi- yang murtad karena marah terhadap ajaran agamanya setelah dia masuk ke dalamnya? Kamu menjawab, tidak ada. Maka demikian itulah yang terjadi apabila kelezatan iman telah merasuk dan teresap di dalam hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Adapun pertanyaan yang diajukan mengenai kemurtadan pengikutnya. Latar belakangnya adalah bahwa orang yang masuk (agama) tanpa dilandasi dengan bashirah/ilmu tentangnya niscaya ia akan mudah untuk kembali (murtad) dan goyah. Adapun orang yang masuk -ke dalam Islam- dengan landasan ilmu dan keyakinan yang benar maka hal itu akan menghalanginya dari kemurtadan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/46])

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah. Allah ta’ala berfirman,

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ فِىٓ إِبۡرَٲهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ ۥۤ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِہِمۡ إِنَّا بُرَءَٲٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ الۡعَدَٲوَةُ وَالۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِاللَّهِ وَحۡدَهُ

Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja” (QS. al-Mumtahanah: 4)

Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay bin Salul bertanya kepada anaknya, “Apa ini?”. Abdullah menjawab, “Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku membawakannya untukmu agar engkau mau meminumnya. Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatimu dengannya.”Sang ayah berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan datang -melapor- kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”. Nabi menjawab,“Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)

Mencintai Para Sahabat Nabi

Dari Anas radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Kami juga tidak berlepas diri/membenci terhadap seorang pun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjelek-jelekkan mereka. Kami tidak menceritakan keberadaan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah ajaran agama, bagian dari keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467 oleh Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah- mencintai para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga mengutamakan para sahabat di atas segenap manusia. Karena kecintaan kepada mereka [sahabat] itu pada hakikatnya adalah bagian dari kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari kecintaan kepada Allah…” (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Jilid 2 hal. 247-248)

Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita dalam rangka membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Oleh sebab itu sebenarnya mereka itu lebih pantas untuk dicela, mereka itulah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah [pokok agama] adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh Sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang dari mereka, maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah [ajaran agama]. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162)

http://muslim.or.id/aqidah/kaitan-tauhid-dengan-al-wala-wal-bara.html