Pertanyaan.
Nadhdharakumullah. Manakah yang râjih tentang hukum shalat tahiyyatul
masjid? Sunnat muakkadah ataukah wajib? Pada hari Jumat, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung naik ke mimbar tanpa shalat,
apakah benar riwayat ini? Manakah yang râjih tentang menjawab adzan?
Sunnat ataukah wajib? Syukran.
Jawaban.
Pertama ingin kami sampaikan, pembahasan suatu hukum ibadah sebagai
wajib atau sunnat, bukanlah untuk merendahkan dan menyepelekannya jika
ternyata hukumnya sunnat. Namun, hendaklah semua ibadah itu dilakukan
semampunya untuk mencari pahala Allah dan memperbanyak amal-amal shalih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremehkan sesuatu dari kebaikan, walaupun sekedar
bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria. [HR Muslim no. 2626].
Pembahasan yang anda tanyakan ini diperlukan, jika suatu ketika kita
dihadapkan pada dua pilihan dan harus memilih salah satunya. Maka kita
mendahulukan ibadah yang wajib daripada yang sunnat. Tetapi, dalam
keadaan longgar, hendaklah kita memperbanyak ibadah dan amal shalih,
baik yang hukumnya sunnat, apalagi yang wajib.
Adapun tentang shalat tahiyyatul masjid, para ulama bersepakat tentang
disyariatkannya shalat ini, namun mereka berbeda pendapat tentang
hukumnya. Sebagian ulama, seperti Imam asy-Syaukani rahimahullah, ia
berpendapat hukumnya wajib. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat hukumnya Sunnah.
Dalil para ulama yang mewajibkan tahiyyatul masjid adalah perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya, dan setiap perintah
pada asalnya hukumnya wajib. Demikian juga larangan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap orang yang masuk masjid untuk duduk sebelum
shalat dua raka’at, sedangkan setiap larangan asalnya haram, sehingga
tahiyyatul masjid hukumnya wajib.
Adapun ulama yang berpendapat Sunnah, menyatakan adanya dalil-dalil yang
memalingkan perintah tahiyyatul masjid kepada Sunnah, antara lain
sebagai berikut:
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ
الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى
دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ
وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ
تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ
تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ
تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا
أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, ia berkata: “Seorang laki-laki dari
penduduk Najed datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
rambutnya kusut, terdengar gema suaranya namun tidak dipahami
perkataannya, sampai dia dekat. Ternyata dia bertanya tentang agama
Islam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Lima
shalat dalam sehari dan semalam'.” Dia bertanya: “Adakah kewajiban
(shalat) atasku selainnya?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali engkau
melakukan dengan suka rela”. [HR Bukhâri no. 46].
Demikian juga hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ
مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ
فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا
وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ
ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا
أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ
فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ
فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
Dari Abu Waqid al-Laitsi, sesungguhnya ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang duduk di dalam masjid dan orang-orang berada di
sekeliling beliau, tiba-tiba datang tiga orang, yang dua orang maju
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan yang satu
orang pergi. Dua orang tersebut berdiri di hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Satu orang dari keduanya melihat celah
pada halaqah (lingkaran duduk), lalu dia duduk di sana. Adapun yang
lain, dia duduk di belakang orang-orang. Sedangkan orang yang ketiga,
dia berbalik pergi. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah selesai, beliau n bersabda: “Tidakkah kuberitahukan kepada kamu
tentang tiga orang tadi. Adapun seseorang dari mereka, dia singgah
kepada Allah, maka Allah menyambutnya. Sedangkan orang yang lain, dia
malu kepada Allah, maka Allah juga malu kepadanya. Dan orang yang lain
lagi, dia berpaling, maka Allah juga berpaling darinya". [HR Bukhri no.
66].
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
kedua orang di atas untuk berdiri dan melakukan shalat tahiyatul
masjid, sehingga hadits ini memalingkan perintah menuju mustahab
(disukai).
Selain itu, sebagian ulama menyebutkan adanya Ijma’ tentang sunnahnya
shalat tahiyyatul masjid, sebagaimana dapat dipahami dari perkataan Imam
Ibnul-Qaththan berikut ini: “Adapun selain shalat lima waktu dan shalat
jenazah yang fardhu kifayah, maka (hukumnya) tathawwu’ (sunnah)
berdasarkan Ijma’ dari para ulama sekarang yang datang kemudian, kecuali
shalat witir, maka Abu Hanifah berkata, bahwa itu wajib, dan
diriwayatkan dari sebagian mutaqaddimin, bahwa itu fardhu”.[1]
Dari sini, maka kita perlu menanyakan kepada orang-orang yang mewajibkan
shalat tahiyyatul masjid, adakah para salaf dari kalangan sahabat dan
tabi’in yang mewajibkannya? Jika tidak ada maka menjadi jelaslah, bahwa
pendapat yang raajih adalah hukum shalat tahiyyatul masjid adalah
Sunnah. Meski demikian, bukan berarti kita meremehkan dan meninggalkan
ibadah ini, sebagaimana telah kami sampaikan di atas, wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/20089M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Iqna’ fî Masa`ilil-Ijma’, Ibnul-Qaththan, dengan penelitian
Hasan bin Fauzi ash-Sha’îdi, Penerbit al-Faruq al-Haditsah, 1/173 no.
937
http://almanhaj.or.id/content/2026/slash/0/hukum-shalat-di-belakang-ahlul-bidah-hukum-shalat-tahiyyatul-masjid/