Agama islam adalah agama yang mengajarkan akhlak
mulia, norma-norma kemanusiaan dan keadilan. Ia menanamkan pada jiwa
setiap muslim, kewajiban untuk berbudi pekerti baik, bertindak dengan
bijak. Jikalau kita mengamati syariat agama kita ini, dari amalan yang
paling kecil hingga yang paling besar, niscaya kita akan sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa setiap ajaran yang diajarkan, bertujuan
mewujudkan kemuliaan akhlak dan kesucian jiwa. Bahkan Nabi Muhammad
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Ahmad)
Bila kita membaca siroh (perjalanan hidup) beliau, niscaya akan kita
dapatkan wujud nyata dari sabda beliau ini, beliau benar-benar sebagai
uswah paling bagus dalam menerapkan akhlak karimah. Sebagai seorang
hamba, beliau adalah hamba Allah yang paling mulia akhlaknya, sebagai
seorang pemimpin, beliau adalah pemimpin yang paling adil, bijak, dan
sabar, sebagai seorang suami, beliau adalah suami yang paling baik
terhadap istrinya.
Allah telah memberikan persaksian-Nya akan hal ini dengan berfirman:
وإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam: 4)
Bila kita hendak menghitung satu persatu akhlak beliau, niscaya kita
akan menghadapi kesulitan, oleh karena itu Aisyah memberikan gambaran
yang sangat jelas akan akhlak beliau dengan mengatakan:
كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن
“Akhlak beliau adalah Al Quran.”
Kalau kita mempelajari makna “akhlak” lebih mendalam, dengan
mengumpulkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah yang berhubungan dengan
akhlak hasanah, maka kita akan dapatkan bahwa kata “akhlak” memiliki
kandungan makna yang sangat luas. Kita akan mendapatkan penjelasan
kewajiban berakhlak hasanah dengan Allah ‘azza wa jalla, berakhlak
hasanah dengan sesama manusia dengan berbagai macam bentuk dan keyakinan
mereka,, berakhlak hasanah dengan diri sendiri, dan berakhlak hasanah
dengan makhluk lain, seperti malaikat, jin, binatang dan lain
sebagainya.
Inilah hakikat agama islam, yang tidak diketahui oleh kebanyakan
manusia, sehingga banyak dari mereka beranggapan, bahwa agama islam
identik dengan kekerasan, teroris, kaku, dll. Dan untuk lebih jelasnya,
mari kita renungkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Al Hakim dll)
Manasik Haji Cerminan Bagi Akhlak Mulia
Haji adalah salah satu rukun islam, haji adalah ibadah yang tergabung
padanya antara amalan badan dan pengorbanan harta, dan haji adalah
salah satu ibadah yang paling agung, yang memiliki kandungan makna, dan
hikmah yang sangat luas lagi mendalam. Para ulama menyatakan, bahwa haji
adalah salah satu madrasah yang sangat agung, untuk menggembleng
keimanan seorang muslim.
وأَذِّن فِي النَّاسِ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ
يَأتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُم
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم
مِنْ بَهِيمَة الأَنْعَام
“Dan kumandangkanlah ibadah haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang
datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka, dan agar mereka menyebut Nama Allah pada hari-hari
yang telah ditentukan, atas rezeki yang telah Allah berikan kepada
mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Haj: 27-28)
Ulama mengomentari bahwa yang dimaksudkan dengan kata “menyaksikan
manfaat” adalah mendapatkannya, bukan sekedar melihat, akan tetapi
mendapatkannya.
Ibnu Abbas menafsiri kata ( مَنَافع ) ayat ini dengan mengatakan:
“Manfaat di dunia dan manfaat di akhirat, adapun manfaat di akhirat
adalah keridhoan Allah ‘azza wa jalla, dan manfaat di dunia adalah
mendapatkan pembagian daging korban, sesembelihan, dan perdagangan.” (
Ad Durrul Mantsur 6/37)
Dan Al Mujahid menafsirkan dengan berkata: “Manfaat adalah
perdagangan dan setiap hal yang menjadikan Allah ridho dari urusan dunia
dan akhirat.” (
Tafsir At Thobari 17/147)
Ibadah haji bukan hanya sebuah rentetan amalan sakral yang tidak
diketahui manfaat dan hikmah dari pelaksanaannya. Akan tetapi ibadah
haji –sebagaimana ibadah-ibadah lainnya- penuh dengan maksud-maksud dan
hikmah-hikmah yang sangat indah dan besar. Kalau kita perhatikan fakta
yang ada pada jamaah haji pada umumnya, dan pada diri kita saat
melaksanakan ibadah yang mulia ini, akan kita lihat terjadinya perbedaan
antara sesama mereka dalam mengambil hikmah, dan menyelami kandungan
makna ibadah ini.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah, bila setiap muslim memikirkan,
dan memberikan sebagian perhatiannya agar semakin banyak
rahasia-rahasia, atau hikmah-hikmah dari amalan-amalan ibadah ini, yang
kita dapatkan
Sebagaimana telah disebutkan dalam Muqaddimah, bahwa agama islam
adalah agama akhlak, yang menjadikan kesucian jiwa, atau yang sering
disebut dengan akhlak –dengan berbagai macamnya, sebagai tujuan dari
setiap syariatnya. Dan kalau kita amati, dan renungkan setiap
amalan-amalan yang terdapat pada ibadah haji, niscaya masing-masing
amalan adalah bukti kuat akan kebenaran apa yang telah diisyaratkan di
atas.
Berikut ini saya akan berusaha untuk sedikit memaparkan beberapa
hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang terpendam dibalik amalan-amalan
ibadah haji, dengan harapan menjadi pilar bagi jamah haji Indonesia
untuk lebih mendalami dan menghayati akan makna-makna yang terkandung di
dalamnya; sehingga amalan ibadah mereka semakin baik dan semakin besar
peluang untuk menjadi haji yang mabrur, dan ibadah haji benar-benar
dapat terwujud dalam kepribadian dan budi pekerti setiap bapak dan ibu
haji. Dan ulasan saya ini, akan saya urutkan sesuai dengan urutan
pembagian akhlak yang telah saya sebutkan pada awal makalah ini.
1. Akhlak Dengan Allah
Ibadah haji, dari amalan paling pertama, yaitu talbiyyah, hingga
amalan paling akhir, yaitu thawaf wada’, penuh dengan pendidikan akhlak
dengan Allah, Sang Pencipta ‘azza wa jalla.
Ucapan Talbiyyah
لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك
“Kusambut panggilan-Mu, Ya Allah, kusambut panggilan-Mu, Kusambut
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya
segala puji, karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu.”
Talbiyyah ini adalah puncak pengikraran iman dan tauhid, di mana
hakikat iman dan tauhid adalah pengagungan Allah dengan
sebenar-benarnya. Pada talbiyyah ini, kita mengikrarkan bahwa segala
pujian, kenikmatan dengan berbagai macam dan wujudnya, dan segala
kekuasaan, termasuk ke dalamnya mengatur alam semesta ini, hanya milik
Allah, tiada satu pun yang menjadi sekutu bagi Allah dalam semua hal-hal
tersebut. Oleh karena itu sebagai kelaziman dari ikrar, kita hanya
bersyukur dengan menujukan segala macam ibadah kepada-Nya semata.
Dan sikap yang demikian ini, merupakan puncak akhlak yang mulia
dengan Allah, di mana kita mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan,
mengatur, dan hanya Dia-lah yang berhak disembah. Untuk lebih mengetahui
bahwa ucapan talbiyyah ini adalah wujud nyata dari akhlak mulia dengan
Allah, maka mari kita bandingkan ucapan ini dengan talbiyyah orang-orang
musyrikin pada zaman dahulu. Mereka mengucapkan:
لَبَّيكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ إلاَّ شَرِيكاً هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
“Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau menguasainya dan apa yang ia miliki.”
Betapa rendahnya akhlak mereka kepada Allah, mereka mengakui bahwa
sekutu yang mereka sembah di bawah kekuasaan Allah, akan tetapi mereka
tetap mendudukkannya sejajar dengan Allah. Oleh karena itu Allah,
berfirman tentang mereka:
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ والأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُه
يَومَ القِيَامَة والسَمَاواتُ مَطْوِيَّات بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
sebenarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari
qiyamat, dan langit-langit digulung dengan Tangan kanan-Nya. Maha Suci
Allah, dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az Zumar: 67)
Thawaf
Setiba jamaah haji di kota Mekkah, maka pertama yang dilakukan adalah
bersuci, lalu thawaf mengelilingi ka’bah. Thawaf adalah amalan yang
sangat agung dan dicintai Allah ta’ala:
وَعَهِدنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وإسمَاعيل أَنْ طَهِّرا بَيتِيَ للطَّائِفِين وَالعاكِفِين والرُكَّع السُّجود.
“Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf , yang I’tikaf, yang
ruku’ dan sujud.” (QS Al Baqoroh: 125)
Tatkala seorang muslim menjalankan ibadah yang agung, niscaya ia akan
mendapatkan pelajaran penting, yaitu keyakinan bahwa ibadah thawaf,
hanya ia lakukan di ka’bah, sehingga ia tidak akan melakukannya di
tempat lain, baik di kuburan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kuburan wali.
Imam An Nawawi berkata: “Tidak diperbolehkan untuk berthawaf mengelilingi kuburan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan juga dimakruhkan untuk menempelkan punggung atau perut kepada
dinding kuburan beliau, … Dan tidak boleh kita terpengaruh oleh
pelanggaran dan perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam.
Karena sesungguhnya kita hanya mencontoh, dan mengamalkan apa yang
disebutkan dalam hadits yang shohih, dan yang disebutkan oleh para
ulama. Dan tidak sepantasnya kita menoleh kepada perbuatan-perbuatan dan
sikap-sikap bodoh yang mereka lakukan.”
Beliau menukilkan ungkapan Al Fudlail bin ‘Iyadl: “Ikutilah
jalan-jalan hidayah, dan jangan engkau merasa takut karena sedikitnya
penempuh jalan tersebut. Dan hati-hatilah engkau dari jalan-jalan
kesesatan, dan jangan terperdaya oleh banyaknya penempuh jalan
tersebut.” (
Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)
Dan di antara amalan yang disunahkan dalam ibadah thawaf adalah mencium Hajar Aswad. Sahabat Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu mengisahkan: “
Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau tiba
di Mekkah, dan menjalankan thawaf pertama kali, beliau menyentuh Hajar
Aswad, lalu berlari-lari kecil sebanyak tiga kali putaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah disunahkan bagi setiap kaum muslimin untuk mencium Hajar Aswad, dalam rangka mencontoh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan menjalankan sunnah-sunnahnya, bukan karena meyakini bahwa Hajar
Aswad memiliki kekuasaan untuk memberi manfaat atau memberi madharat,
atau khasiat tertentu.
Oleh karena itu Khalifah Umar bin Khatthab ketika mencium
Hajar Aswad, beliau berkata:
“Sungguh
demi Allah aku menyadari bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak
bisa memberi manfaat atau madharat, dan seandainya aku tidak melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak
akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian yang disyariatkan untuk disentuh/diusap hanyalah Hajar Aswad
dan Rukun Yamani, selain keduanya, yaitu kedua Rukun Syami (kedua sudut
Hijir Ismail) dan juga tempat-tempat lainnya tidak diperbolehkan untuk
diusap atau dicium, baik maqom Ibrahim, kuburan Nabi, atau Wali, atau
masjid, atau yang lainnya.
Imam Ahmad meriwayatkan: bahwa suatu saat sahabat Muawiyah
radhiallahu ‘anhu sedang menjalankan thawaf bersama dengan Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu,
dan ketika Muawiyah melintasi kedua sudut Hijir Ismail, beliau mengusap
keduanya, maka sekonyong-konyong Ibnu Abbas menegurnya dan berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengusap kedua sudut ini.”
Imam An Nawawi tatkala membahas adab berziarah kepada kuburan Nabi,
beliau berkata: “Dan dimakruhkan mengusap dinding kuburan, atau
menciumnya, akan tetapi adab yang benar adalah kita menjaga jarak dari
kuburan, sebagaimana kita menjaga jarak dari beliau, bila kita
berhadapan dengannya semasa hidupnya
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan inilah adab yang benar, yang dinyatakan oleh para ulama, dan mereka
bersepakat atasnya… Dan barang siapa yang terbetik dalam benaknya,
bahwa mengusap-usap dinding kuburan Nabi, atau yang serupa akan lebih
mendapatkan barokah, maka anggapan yang demikian ini adalah bagian dari
kebodohan dan kelalaiannya; karena keberkahan hanyalah didapatkan pada
perbuatan yang sesuai dengan syariat. Dan bagaimana mungkin
keberuntungan bisa didapatkan dari sikap menentang kebenaran.” (
Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)
Setelah melaksanakan ibadah thawaf, orang yang menjalankan ibadah
haji akan berbondong-bondong menuju gunung Shafa dan Marwah, guna
menjalankan ibadah sa’i tujuh kali. Ibadah ini mengingatkan kita kepada
kisah sebuah keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka
menjalankan perintah Allah, dengan penuh keimanan, yaitu keluarga Abul
Anbiya’ Ibrahim
‘alaihi sallam.
Tatkala Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar menempatkan istrinya
Hajar dan anaknya Ismail (yang kala itu masih menyusu), di Mekkah (yang
dahulu bernamakan pegunungan Faran), maka beliau menaati perintah ini.
Beliau menempatkan keduanya di atas sebuah batu besar, yang terletak
diatas sumur zam-zam (kala itu di tempat tersebut tidak ada air, juga
tidak ada penghuninya). Lalu Nabi Ibrahim hanya memberikan bekal untuk
keduanya sekantung kurma, dan sebejana air.
Kemudian Nabi Ibrahim pergi meninggalkan keduanya, sehingga Hajar mengikutinya dari belakang, dan berkata:
“Wahai
Ibrahim, ke mana engkau akan pergi, apakah engkau akan tinggalkan kami
di lembah ini, yang tidak ada seorang manusia pun, juga tidak ada
sesuatu.” Ia mengulang-ulang perkataannya ini, akan tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh sedikit pun.
Lalu Hajar berkata:
“Apakah Allah yang memerintahkan engkau
dengan hal ini?” maka Nabi Ibrahim menjawab: Ya. Maka Hajar berkata:
“Kalau demikian, Ia tidak akan menyia-siakan kami.” (HR. Bukhari)
Ini adalah sebuah gambaran bagi sebuah keluarga yang iman dan tawakal
telah tertanam dan menyatu dengan hati mereka, sehingga dalam keadaan
seperti disebut, Hajar yakin bahwa Allah pasti memberikan jalan keluar
dari segala apa yang akan ia hadapi. Ini adalah sebuah pelajaran penting
yang seharusnya selalu diingat-ingat oleh setiap orang yang sedang
menjalankan ibadah ini, kemudian ia jadikan kisah ini sebagai pilar
dalam kehidupannya. Terutama pada di saat menghadapi berbagai problema
dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada kata putus asa, patah semangat,
atau kecil hati.
Oleh karena itu, setelah Nabi mengisahkan kisah perjuangan Hajar
mencari air, dan berlari-lari antara gunung Shafa dan Marwah, beliau
bersabda:
فَذَلِكَ سَعَيُ النَّاسِ
“Itulah kisah kenapa manusia bersa’i, (berlari).” (HR. Bukhari)
Wukuf Pada Hari Arafah
Hari Arafah, adalah hari yang paling agung, hari yang padanya kaum
muslimin dengan jumlah yang sangat besar berkumpul di satu tempat,
dengan pakaian yang sama, amalan sama, tujuan sama. Hari yang padanya
turun berbagai rahmat Allah, dan diampunkan padanya dosa-dosa manusia,
dan hari yang padanya pula Allah paling banyak membebaskan manusia dari
neraka. Pada hari ini pula Allah menyempurnakan agama dan kenikmatan
bagi umat ini:
اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُم دينكم وأتممتُ عليكمْ نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi islam sebagai
agama bagimu.” (QS. Al Maaidah: 3)
Oleh karena itu, pada hari ini setiap jamaah haji menunjukkan sikap
tunduk, merendahkan diri, banyak berdoa, menggantungkan segala
harapannya hanya kepada Allah ta’ala, banyak berzikir, berdoa,
meninggalkan segala kegiatan selain menghadapkan jiwa dan hatinya hanya
kepada Allah; agar ia termasuk orang yang dibebaskan dari neraka pada
hari ini. Mari kita perhatikan bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut ini:
(خَيْرُ الدُّعَاء دُعَاءُ يَومَ عَرَفَةَ، وخَيْرَ مَا قُلْتُ أَنَا
والنَّبيُّون مِنْ قَبْلِي: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ
لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ قَدِيْر).
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari arafah, dan sebaik-baik doa
yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah doa: LA ILAHA ILLALLAHU
WAHDAHU LA SYARIKA LAHU LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI
SYAI’IN QODIR (Tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kekuasaan, dan milik-Nyalah segala pujian,
sedangkan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa).” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Ini adalah doa paling utama, yang diucapkan pada hari yang paling
utama, hari yang padanya disempurnakan agama kita ini, sehingga
sangatlah sesuai bila pada hari yang demikian agungnya, kita mengucapkan
doa yang paling agung. Sungguh sebuah akhlak seorang hamba yang
sempurna, betapa tidak, pada hari yang paling agung, beliau mengucapkan
doa yang paling agung, yang bermaknakan: mengesakan Allah dengan segala
macam ibadah, dan berlepas diri dari segala macam bentuk kesyirikan, dan
sesembahan selain Allah.
Doa ini adalah dasar dari agama ini, kunci untuk membuka pintu surga,
dan dengan kalimat inilah para rasul diutus, oleh karena itu hendaknya
setiap jamaah haji dianjurkan memperbanyak ucapan doa ini. Akan tetapi,
adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa ucapan
ini tidaklah akan diterima, bila tidak disertai oleh penghayatan dan
pengamalan makna dan kandungannya
Hal ini sangat penting sekali, dikarenakan orang yang mengucapkan
kalimat ini, kemudian tanpa meyakini akan maknanya, maka ia disebut
munafik, dan orang yang mengucapkannya, akan tetapi amalannya
bertentangan dengan makna kalimat ini, maka ia adalah orang musyrik,
termasuk di dalamnya orang yang mengucapkannya, akan tetapi ia menujukan
sebagian ibadah, seperti meminta rezeki, kesembuhan, tawassul,
istighotsah, pertolongan, tawakal, kepada selain Allah.
Di antara akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya dari amalan-amalan haji, adalah sikap mencontoh
sunnah-sunnah beliau dalam menjalankan ibadah agung ini. Beliau telah
menekankan akan kewajiban berpegang teguh dengan akhlak ini dalam sabda
beliau:
لِتَأخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلَّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Hendaknya kalian mencontoh (dalam menunaikan) manasik kalian,
karena sesungguhnya aku tidak tahu, mungkin aku tidak berhaji lagi
setelah hajiku ini.” (HR. Muslim)
Beribadah kepada Allah dengan cara mencontoh sunnah-sunnah
Rasulullah, adalah akhlak yang wajib untuk dimiliki oleh setiap muslim,
bukan hanya selama menjalankan ibadah haji, akan tetapi untuk
selama-lamanya.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita bukan hanya sekedar
beribadah kepada Allah, akan tetapi beribadah kepada Allah dengan cara
yang Allah ajarkan melalui lisan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam Al Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِين آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ واتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujuraat: 1)
Ayat ini merupakan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya
kaum mukminin, dalam bermuamalah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu agar mereka tidak berburu-buru dalam segala sesuatu dan
mendahului kehendak beliau, akan tetapi mereka diharuskan mengikuti
perintah beliau dalam segala hal, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 4/205)
Sahabat Ibnu Abbas tatkala menafsiri ayat ini beliau mengatakan:
“Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya adalah janganlah kalian mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah.
Oleh karena itu adalah wajib hukumnya bagi setiap jamaah haji, untuk mencontoh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam menunaikan manasiknya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di
atas, dan ini adalah perwujudan dari akhlak, penghormatan dan
pengagungan kita sebagai seorang mukmin terhadap beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini merupakan tolok ukur akan keimanan
setiap muslim:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, sedangkan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/reformasi-akhlak-melalui-ibadah-haji-1.html
Reformasi Akhlak Melalui Ibadah Haji (2)
2. Akhlak Dengan Sesama Manusia
Semenjak Allah menurunkan agama islam ini kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allah telah mewajibkan kepada umat ini untuk berprilaku baik, berakhlak
mulia, dan menghormati sesama manusia, terlebih-lebih sesama kaum
mukminin. Bahkan islam menjadikan pergaulan, dan muamalah yang baik
sebagai tolok ukur bagi keimanan seseorang:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dll)
Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya
sedang menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar
menjalani ibadah ini dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada
kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali seseorang memasuki
ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk
berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan
hanya perbuatan kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata
jelek, dan perbuatan zalim dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan kita
agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.
الحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui, maka
barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini untuk menunaikan
haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat kefasikan, dan
berbantah-bantahan di dalam melaksanakan haji.” (QS. Al Baqoroh: 197)
Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang mengundang
timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di hadapan wanita (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)
Adalah salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim yang sejati,
ia meninggalkan segala hal yang tidak berguna bagi dirinya, termasuk
dalamnya perdebatan yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih bila
perdebatan tersebut hanya akan mendatangkan timbulnya hal yang tidak
terpuji. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّة لِمَنْ تَرَكَ المِرَاء
وَإِنْ كَان مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ
الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ
حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin, akan mendapatkan sebuah rumah di surga bagian
bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walaupun ia benar, dan
sebuah rumah di tengah-tengah surga, bagi orang meninggalkan perbuatan
dusta, walau hanya bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi,
bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR. Abu Dawud, At Thabrani, Al Baihaqi dll, dan dihasankan oleh Al Haitsami)
Ditambah lagi, ketika jamaah haji berada di kota Mekkah, maka ia akan selalu mengingat firman Allah:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحِادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ
“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim
di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian azab
yang pedih.” (QS. Al Haj 25)
Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk keistimewaan kota Mekkah,
adalah barang siapa yang berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah,
maka ia akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum melaksanakannya.
Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan:
“Seandainya ada orang di kota Aden
(Yaman) yang berniat berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan
semena-mena, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab yang
pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim).
Seandainya selama
jamaah haji berada di kota Mekkah, benar-benar menghayati akan makna
ayat ini, -Insya Allah- hatinya akan suci, dan akhlaknya menjadi mulia.
Di antara salah satu pelajaran penting yang bisa diambil oleh jamaah
haji, dari amalan wukuf di padang Arafah, di mana seluruh jamaah haji
mengenakan pakaian yang sama, berpenampilan sama, sehingga tidak
kelihatan perbedaan derajat, kedudukan, kekayaan, yang ada di antara
mereka. Ini adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan akan satu
hakikat yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia; yaitu: Bahwa
tidaklah ada perbedaan antara manusia di hadapan Allah, kecuali dengan
ketakwaan.
Hakikat ini telah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam salah satu khotbah beliau pada hajjatul wada’ dengan bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكم وَاحِدٌ وإِنَّ أَبَاكُمْ
وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ
لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ
لأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Wahai para manusia! Ketahuilah, bahwasanya Tuhan kalian adalah
satu, dan ayah kalian adalah satu. Ketahuilah! Tidak ada keutamaan bagi
orang Arab atas orang ‘ajam (non Arab), dan juga tidak bagi orang ‘ajam
atas orang Arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang
berkulit hitam, dan juga tidak bagi yang berkulit hitam atas yang
berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Sebagai salah satu praktek nyata yang pernah Rasulullah ajarkan
kepada umatnya, adalah sabda beliau kepada sahabat Umar bin Khottob:
يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لاَ تُؤْذِ الضَّعِيْفَ إِذا
أَرَدْتَ اسْتِلاَمَ الحَجَرَ، فَإِنْ خَلاَ فَاسْتَلِمْهُ وَإلاَّ
فاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ
“Wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah lelaki yang kuat, maka
janganlah engkau menyakiti orang yang lemah, bila engkau hendak mengusap
hajar (aswad), bila engkau mendapatkan kesempatan senggang, maka
silakan engkau mengusap, dan bila tidak, maka silakan engkau menghadap
kepada hajar aswad, lalu bertakbirlah.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy)
Marilah kita bandingkan hadits ini dengan kenyataan yang terjadi di
sekitar Hajar Aswad, niscaya akan kita dapatkan praktek-praktek yang
sangat bertentangan dengan maksud-maksud ibadah haji. Pendidikan ini,
tidak terbatas hanya semasa jamaah haji berada di kota Mekkah saja,
bahkan di saat mereka berkunjung ke kota Madinah pun akan mendapatkan
hal yang sama, karena kedua kota ini memiliki banyak persamaan, keduanya
adalah tanah haram.
المَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وثَوْرٍ فَمَنْ أحْدَثَ فِيْهَا
حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلاَئِكَةِ
والنَّاسِ أَجْمَعِيْن، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً
“Madinah adalah tanah haram, antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka
barang siapa yang berbuat kesalahan di dalamnya, atau melindungi orang
yang berbuat kesalahan, maka ia ditimpa laknat Allah, para malaikat, dan
seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya pengganti atau
tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila hal ini benar-benar dihayati oleh setiap jamaah haji, berarti ia
benar-benar menjalani pendidikan akhlak, dan penyucian jiwa, sehingga
perangai baik dan budi luhur yang ia lakukan selama satu bulan lebih,
akan menyatu dengan darah dagingnya.
3. Akhlak Dengan Diri Sendiri
Bila kita renungkan dan kita pelajari apa yang terjadi di sekitar
kita, dari kejahatan dan perbuatan yang tidak terpuji, niscaya kita akan
berkesimpulan, bahwa yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan
tersebut adalah dua hal:
- Hawa nafsu yang tidak dikendalikan.
- Kebodohan.
Pada ibadah haji, terdapat banyak hal yang kalau kita pikirkan dengan
baik, ternyata merupakan ajaran yang mengajak dan membina umat agar
bisa terlindung dari dua penyebab kemaksiatan tersebut. Marilah kita
bersama-sama perhatikan sebagian manasik haji, untuk membuktikan
kebenaran ungkapan ini.
Larangan-Larangan Ihram
Semenjak seseorang memulai ihramnya, yaitu dengan berniat menjalankan
ibadah haji, dan telah mengenakan pakaian ihram, maka ia diharamkan
melakukan beberapa hal, yang sebelumnya diperbolehkan. Ia tidak boleh
berjima’ atau melakukan hal yang membangkitkan syahwat, memakai
wewangian, mengenakan pakaian yang berjahit, memotong kuku, rambut dll.
Para ulama menyebutkan alasan dilarangnya memotong rambut, kuku,
menggunakan wewangian, adalah untuk meninggalkan perbuatan taraffuh
(berfoya-foya), sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab fikih. Ini semua
adalah merupakan latihan, yang dijalani oleh jamaah haji, untuk mendidik
jiwa dan nafsunya, sehingga ia bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan
mengarahkannya kepada yang dihalalkan dalam syariat.
Wukuf di Arafah
Pemandangan wukuf di Arafah adalah sebuah pemandangan yang sarat
dengan hikmah, di antaranya, mengingatkan kita semua akan adanya hari
kebangkitan, di mana semua manusia akan dibangkitkan dari alam kuburnya,
dan menghadap kepada Allah ta’ala. Bangkit dalam keadaan tidak ada
perbedaan derajat, kekayaan, pangkat, kecuali perbedaan iman dan takwa.
Semua jamaah haji memanjatkan doa dan hajatnya langsung kepada Allah
tanpa ada perantara atau penerjemah, demikian pulalah halnya yang akan
terjadi kelak pada hari kiamat. Kita akan menghadap kepada Allah dan
mempertanggung jawabkan seluruh amalan kita selama di dunia, tanpa ada
penerjemah atau perantara. Penghayatan yang demikian ini, akan
menimbulkan rasa tawadhu’, dan mengikis habis kesombongan dari hati
manusia.
Melempar Jumrah
Salah satu amalan dalam ibadah haji yang penuh dengan hikmah adalah
amalan melempar jumrah, dikarenakan ini adalah salah satu simbol
permusuhan antara manusia dan syaitan. Amalan ini mengingatkan kita
kepada kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, tatkala Nabi Ibrahim
mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya Ismail, serta usaha
syaitan untuk menggoda keduanya.
Oleh karena itu, hendaknya amalan ini tidak berhenti sebatas sebuah
simbol, dan tidak dilanjutkan pada amalan nyata. Sebagai salah satu
perwujudan dari pengamalan dari simbol ini, adalah tata cara melempar
jumrah, di mana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajarkan kepada kita cara melempar yang benar, yaitu dengan
menggunakan batu yang kecil, tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu
besar. Ukuran batu lempar jumrah ini adalah sebuah contoh untuk kita,
agar selalu menjauhi sikap berlebih-lebihan/ekstrem (ghuluw’ ) dalam
segala hal.
بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ، وإيَّاكُمْ وَالغُلُوَّ
فِي الدِّينِ، فإِنَّما هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم بِالْغُلُوِّ فِيْ
الدِّين
“Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, Dengan menggunakan
bebatuan seperti itu, dan hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw’
(berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian binasa, dikarenakan sikap ghuluw’ dalam agama.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim dll)
4. Akhlak Dengan Makhluk Lain
Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk membawa kerahmatan
kepada alam semesta, bukan hanya manusia saja yang mendapatkan perhatian
dalam islam, bahkan semua yang ada di alam ini mendapatkan bagiannya.
Oleh karena itu, makhluk selain manusia akan mendoakan orang-orang yang
menerapkan syariat-syariat islam, juga orang-orang yang mengajarkannya.
إِنَّ اللهَ ومَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلُ السَّمَاوَات والأَرَضِيْنَ حَتى
النَّمْلَةُ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتُ فِي البَحْرِ لَيُصَلُّونَ
عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسَ خَيْراً. رواه الترمذي والطبراني.
“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi,
sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan
untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani)
Di saat menunaikan ibadah haji (di saat berihram), kita dilarang
berburu, mengganggu atau menghalau binatang liar yang kita jumpai, ini
adalah salah satu wujud nyata dari kerahmatan yang Allah turunkan kepada
alam semesta, termasuk binatang buruan, Dan termasuk akhlak yang
diajarkan kepada kita, agar tidak membunuh, atau mengganggu binatang,
kecuali kalau ada alasan yang dibenarkan, mari kita renungkan bersama
kisah berikut:
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa ada seorang wanita penzina yang
diampuni dosanya, karena ia memberi minum seekor anjir yang hampir mati
kehausan. Akan tetapi sebaliknya, ada seorang wanita yang dimasukkan
neraka gara-gara mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan. Kedua
kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Tidak berhenti sampai di sini akhlak baik yang diajarkan kepada kita
dengan binatang, bahkan sampai saat menyembelih pun kita diajarkan untuk
tetap berpegang teguh dengan akhlak yang mulia.
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan perbuatan (ihsan) baik dalam
segala sesuatu, maka bila engkau membunuh, hendaknya kalian membunuh
dengan cara yang baik, dan bila menyembelih, hendaknya menyembelih
dengan cara yang baik, hendaknya kalian menajamkan pisau sembelihannya,
dan hendaknya ia membiarkan binatang sembelihannya hingga tenang
(benar-benar mati, baru dikuliti, dan dipotong-potong)” (HR. Muslim)
Ini sebagian dari hikmah-hikmah yang bisa kita ambil dari amalan
haji, yang kalau kita bisa mengamalkannya, insya Allah haji kita menjadi
haji yang mabrur, karena kita menjalankannya penuh dengan penghayatan
akan apa yang kita amalkan. Bukan hanya sekedar amalan sakral yang kita
jalani tanpa ada penghayatan dan hikmah yang kita dapatkan.
Pada akhirnya, saya tidak memiliki kata yang lebih indah dari doa:
semoga Allah memberikan taufik dan ‘inayah-Nya kepada pemerintah, dan
kepada kaum muslimin di negeri kita secara umum, jamaah haji secara
khusus, dan semoga ibadah haji mereka menjadi haji yang mabrur, yang
pahalanya adalah surga. Kemudian, saya mengucapkan puja dan puji syukur
kepada Allah ta’ala, dan sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat.
Wallahu a’lam bisshowwab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/reformasi-akhlak-melalui-ibadah-haji-2.html